
Kebijakan impor merupakan instrumen penting yang digunakan pemerintah untuk menyeimbangkan kebutuhan pasar domestik dengan kemampuan produksi dalam negeri. Dalam sektor pertanian, pengaturan impor menjadi sangat krusial. Indonesia, sebagai negara agraris, memiliki kewajiban untuk melindungi petani lokal dari serbuan produk asing, memastikan stabilitas harga di tingkat konsumen, sekaligus menjamin ketersediaan pangan nasional.
Regulasi impor komoditas pertanian biasanya bertujuan ganda: pertama, sebagai langkah perlindungan (proteksi) terhadap harga jual petani saat musim panen tiba (tidak boleh ada banjir barang impor yang menekan harga); dan kedua, sebagai alat kendali ketersediaan (suplai) untuk memenuhi kekurangan pasokan dalam negeri. Oleh karena itu, pemerintah secara berkala melakukan penyesuaian terhadap daftar komoditas yang tunduk pada kebijakan impor—sebuah mekanisme yang dikenal sebagai penetapan Barang Pembatasan dan/atau Pelarangan (Lartas).
Baru-baru ini, pemerintah kembali melakukan penyesuaian signifikan, khususnya pada komoditas sektor pertanian. Penyesuaian ini menunjukkan komitmen pemerintah untuk menjaga sektor strategis ini agar tetap berdaya saing dan berkelanjutan.
Dasar Hukum dan Arah Kebijakan Baru
Penambahan daftar komoditas pertanian yang dikenai kebijakan impor ini secara resmi diatur melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 31 Tahun 2025.
Permendag 31/2025 ini merupakan perubahan (amandemen) terhadap regulasi impor sebelumnya, yaitu Permendag Nomor 18 Tahun 2025. Penerbitan regulasi baru ini sekaligus menjadi bagian dari upaya pemerintah dalam rangkaian deregulasi dan penataan kembali kebijakan impor atas komoditas-komoditas tertentu yang sebelumnya diatur secara menyeluruh dalam Permendag Nomor 8 Tahun 2024.
Inti dari perubahan ini adalah memperluas cakupan komoditas pertanian yang wajib memenuhi ketentuan impor tertentu. Dengan kata lain, untuk komoditas yang ditambahkan ini, prosedur pemasukan ke wilayah Indonesia kini menjadi lebih ketat, memerlukan perizinan khusus, dan harus diawasi secara mendalam oleh otoritas terkait.
Daftar Komoditas Pertanian yang Kini Diatur
Sebelum adanya Permendag 31/2025, komoditas pertanian dan peternakan yang sudah terikat kebijakan impor mencakup daftar berikut:
- Hewan dan Produk Hewan
- Beras
- Gula
- Jagung
- Bawang Putih
- Produk Hortikultura
Melalui Permendag terbaru, pemerintah menambahkan satu kategori besar komoditas lagi ke dalam daftar yang diatur secara ketat, yaitu:
Ubi Kayu dan Produk Turunannya
Dengan penambahan ini, total komoditas pertanian yang diberlakukan kebijakan impor secara spesifik menjadi tujuh kategori utama. Penambahan ubi kayu ini menandakan adanya perhatian khusus pemerintah terhadap potensi gejolak pasokan dan harga yang mungkin terjadi pada komoditas yang memiliki nilai strategis bagi industri pangan dan pakan domestik.
Ubi Kayu dan Produk Turunannya
Penambahan ubi kayu (singkong) dan produk turunannya ini bersifat komprehensif, tidak hanya mencakup bahan baku mentah, tetapi juga produk olahannya. Klasifikasi barang ini merujuk pada kode harmonisasi barang internasional, atau yang dikenal sebagai Harmonized System (HS) Code.
Berdasarkan Lampiran I Bagian VII Permendag 31/2025, komoditas yang kini diwajibkan untuk dikenai kebijakan impor (Lartas) terdiri dari tiga kelompok kode HS utama:
1. Kelompok Pos 07.14 (Bahan Baku)
Kelompok ini mencakup bentuk mentah dan setengah jadi dari umbi-umbian yang kaya pati atau inulin.
- Uraian Barang: Ubi kayu, arrowroot, salep, Jerusalem artichokes, ubi jalar, serta akar-akaran dan bonggol-bonggolan semacam itu yang mengandung banyak pati atau inulin.
- Bentuk: Segar, dingin, beku, atau dikeringkan.
- Detail: Baik dalam bentuk irisan maupun tidak, atau dalam bentuk pelet; termasuk empulur sagu.
- Analisis: Pengaturan pada pos ini sangat penting untuk melindungi produsen ubi kayu mentah (petani) dan memastikan pasokan untuk industri pengolahan dalam negeri tetap stabil dan berkualitas.
2. Kelompok Pos 11.06 (Tepung dan Bubuk Olahan)
Kelompok ini mencakup produk olahan tingkat pertama dari umbi-umbian.
- Uraian Barang: Tepung, tepung kasar, dan bubuk yang berasal dari akar atau bonggol dari Pos 07.14, dari sagu, atau dari sayuran polongan yang dikeringkan (Pos 07.13) atau produk dari Bab 8.
- Analisis: Yang paling relevan di sini adalah tepung ubi kayu (gaplek) atau olahan serupa. Pengaturan impornya bertujuan melindungi industri tepung dalam negeri yang menggunakan ubi kayu sebagai bahan baku, terutama industri yang memproduksi bahan baku pakan ternak.
3. Kelompok Kode 11.08 (Pati/Pati dan Inulin)
Kelompok ini mencakup produk hasil ekstraksi pati atau kanji murni.
- Uraian Barang: Pati (Starch) dan Inulin.
- Analisis: Dalam konteks ubi kayu, produk utamanya adalah Tepung Tapioka (Pati Ubi Kayu). Pati merupakan bahan baku vital bagi berbagai industri, mulai dari makanan, minuman, tekstil, hingga kertas. Pengaturan impor pati ubi kayu sangat strategis untuk mencegah praktik dumping (menjual di bawah harga wajar) dari negara produsen besar yang dapat merusak harga jual pati lokal.
Implikasi Kebijakan Terhadap Pelaku Usaha dan Petani
Kebijakan ini membawa implikasi signifikan bagi ekosistem industri ubi kayu di Indonesia:
1. Bagi Importir dan Industri Pengguna
Bagi importir dan industri yang mengandalkan bahan baku ubi kayu dan turunannya dari luar negeri, prosedur perizinan kini menjadi lebih kompleks. Mereka tidak lagi bisa mengimpor secara bebas (free trade), melainkan harus melalui skema Perizinan Impor (PI) yang diterbitkan oleh Kementerian Perdagangan.
- Penerbitan PI: Izin impor akan diberikan setelah mempertimbangkan rekomendasi dari kementerian teknis (misalnya Kementerian Pertanian atau Kementerian Perindustrian) yang menilai ketersediaan stok domestik.
- Kepastian Hukum: Meskipun prosedur menjadi lebih rumit, mekanisme Lartas memberikan kepastian pasokan bagi industri. Impor hanya dibuka jika pasokan dalam negeri benar-benar tidak mencukupi, sehingga menjaga keberlangsungan operasi industri.
2. Bagi Petani Ubi Kayu Lokal
Inilah dampak paling positif yang diharapkan dari kebijakan ini. Dengan dikenakannya Lartas pada ubi kayu, pemerintah secara langsung memberikan perlindungan harga minimum bagi petani.
- Stabilitas Harga: Impor tidak akan masuk secara masif pada saat panen raya. Hal ini mencegah jatuhnya harga ubi kayu mentah di tingkat petani, yang selama ini sering menjadi keluhan utama.
- Mendorong Produksi: Kepastian harga yang lebih baik akan mendorong petani untuk meningkatkan luasan tanam dan produktivitas, yang pada akhirnya berkontribusi pada peningkatan produksi pangan nasional dan mengurangi ketergantungan impor.
Masa Transisi dan Ketentuan Peralihan
Pemerintah menyadari bahwa kebijakan baru ini memerlukan waktu bagi pelaku usaha untuk beradaptasi. Oleh karena itu, Permendag 31/2025 menetapkan adanya masa transisi.
1. Tanggal Mulai Berlaku
Permendag 31/2025 diundangkan pada tanggal 22 September 2025 dan baru berlaku setelah 14 hari sejak tanggal diundangkan.
2. Ketentuan Pengecualian (Transisional)
Meskipun kebijakan telah berlaku efektif, terdapat pengecualian untuk pengiriman barang yang sudah terlanjur diproses sebelum tanggal efektif.
- Ketentuan ini tidak berlaku terhadap impor ubi kayu dan produk turunannya yang telah dikapalkan sebelum berlakunya Permendag ini.
- Pengecualian ini harus dibuktikan dengan dokumen pengiriman seperti tanggal Bill of Lading (B/L) atau Air Waybill (AWB).
- Selain itu, barang impor tersebut harus sudah tiba di pelabuhan tujuan paling lambat tanggal 31 Oktober 2025, yang harus dibuktikan dengan dokumen pabean berupa manifes (BC.1.1).
Ketentuan peralihan ini menunjukkan prinsip kehati-hatian pemerintah agar kebijakan baru tidak serta merta mengganggu arus logistik dan merugikan importir yang sudah melakukan transaksi sebelum regulasi ini diterbitkan.
Kesimpulan
Penambahan ubi kayu dan produk turunannya ke dalam daftar komoditas yang dikenai kebijakan impor adalah langkah strategis dan pro-petani. Kebijakan ini adalah manifestasi dari komitmen pemerintah untuk mencapai kedaulatan pangan (food sovereignty)—kemampuan untuk menentukan kebijakan pangan sendiri, bukan sekadar ketahanan pangan (food security).
Melalui penataan impor yang ketat, diharapkan:
- Harga Domestik Stabil: Terciptanya keseimbangan harga yang adil bagi petani produsen dan terjangkau bagi konsumen.
- Industri Lokal Tumbuh: Memberikan ruang bagi industri pengolahan pati dan tepung lokal untuk berkembang tanpa tertekan oleh persaingan impor yang tidak sehat.
Implementasi Permendag 31/2025 perlu diawasi secara cermat, baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Dengan sinergi yang baik antara regulasi yang kuat dan pengawasan yang ketat, kebijakan impor ini akan berfungsi optimal sebagai pelindung ekonomi domestik dan pilar utama kedaulatan pangan Indonesia.
