
Dalam dunia perdagangan modern yang serba cepat, jasa freight forwarding atau jasa pengurusan transportasi (JPT) adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Seorang freight forwarder bertindak sebagai perantara yang mengurus segalanya: mulai dari pemesanan ruang kapal, pesawat, atau truk, pengurusan dokumen bea cukai, penyimpanan, hingga asuransi. Mereka tidak selalu memiliki aset transportasi sendiri, namun keahlian mereka dalam merangkai layanan logistik yang kompleks itulah yang menjadi nilai jual utama.
Namun, di balik kelancaran pergerakan kargo, tersembunyi satu aspek krusial yang wajib dipahami oleh setiap pelaku bisnis ini: perpajakan. Pajak dalam bisnis freight forwarding memiliki kompleksitas tersendiri, terutama karena melibatkan banyak pihak, beragam jenis biaya, dan seringkali transaksi lintas negara. Memahami kewajiban pajak bukan hanya soal mematuhi aturan, tetapi juga kunci untuk menjaga kesehatan finansial dan menghindari sanksi yang bisa menggerus profitabilitas.
PPN Besaran Tertentu (1,1%)
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang paling relevan dan sering menjadi perhatian utama bagi perusahaan freight forwarding. PPN dikenakan atas setiap penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) di dalam Daerah Pabean, dan jasa freight forwarding termasuk kategori JKP.
Secara umum, tarif PPN di Indonesia saat ini adalah 12%. Namun, untuk jenis jasa tertentu yang memiliki karakteristik khusus, pemerintah menetapkan skema PPN Besaran Tertentu (atau PPN Final). Apa maksudnya? Dalam skema normal, PPN terutang dihitung dari tarif PPN (12%) dikalikan Dasar Pengenaan Pajak (DPP). Namun, untuk freight forwarding, pengenaannya dibuat lebih sederhana dan proporsional.
Pemerintah menyadari bahwa jasa freight forwarding sering kali melibatkan penagihan ganda (biaya atas jasa sendiri dan penggantian biaya pihak ketiga), yang membuat perhitungan PPN normal menjadi rumit. Oleh karena itu, skema PPN Besaran Tertentu diterapkan.
Terobosan PMK 11/2025: Dari 1,2% Menjadi 1,1%
Pajak dalam bisnis freight forwarding mengalami penyesuaian signifikan melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 11 Tahun 2025 (PMK 11/2025). Regulasi ini menggantikan skema PPN sebelumnya yang diatur dalam PMK Nomor 71/PMK.03/2022 (PMK 71/2022).
1. Dasar Hukum Perhitungan PPN
Di bawah PMK 11/2025, PPN untuk jasa freight forwarding tidak lagi dihitung dengan tarif PPN 12% dikalikan seluruh biaya. Melainkan, PPN dipungut dengan tarif sebesar 1,1% (Satu Koma Satu Persen) dari total tagihan atau nilai yang ditagihkan kepada pengguna jasa.
Bagaimana angka 1,1% ini didapatkan?
Angka ini berasal dari perhitungan: 10% dikalikan 11/12 dari Tarif PPN yang berlaku.
Jika tarif PPN umum adalah 12%, maka perhitungannya menjadi:

2. Dampak Praktis Pengurangan Tarif
Sebelum berlakunya PMK 11/2025 (ketika tarif PPN umum masih 11%), tarif PPN Besaran Tertentu untuk freight forwarding adalah 10% dikali tarif PPN, yaitu:
10% x 12% = 1,2%
PMK 11/2025 secara efektif menyesuaikan besaran tertentu ini menjadi 10% dari Nilai Lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak (DPP), dan penyesuaian ini menghasilkan tarif yang sedikit lebih rendah, yaitu 1,1%.
Penurunan dari 1,2% menjadi 1,1% mungkin terlihat kecil, namun dalam volume transaksi logistik yang besar, selisih 0,1% ini dapat menciptakan penghematan yang substansial dan meningkatkan daya saing perusahaan.
3. Dasar Pengenaan Pajak (DPP) yang Menjadi Fokus
Yang terpenting untuk diingat adalah: Tarif 1,1% ini dikenakan atas semua biaya yang ditagihkan oleh freight forwarder kepada pelanggan.
Dalam bisnis freight forwarding, tagihan kepada pelanggan biasanya mencakup dua komponen utama:
- Imbalan Jasa (Fee for Service): Ini adalah pendapatan murni perusahaan atas keahlian dan koordinasi logistik yang dilakukan.
- Biaya yang Dibayarkan kepada Pihak Ketiga (Reimbursement/Cost): Ini adalah biaya yang dikeluarkan perusahaan untuk menyewa pihak lain (misalnya: biaya sewa kapal/pesawat, biaya kepelabuhan, biaya gudang, dll.) yang kemudian ditagihkan kembali (di-reimburse) kepada pelanggan.
Di bawah skema PPN Besaran Tertentu 1,1%, kedua komponen biaya tersebut digabungkan untuk menjadi Dasar Pengenaan Pajak (DPP). PPN 1,1% dikenakan atas total nilai gabungan tersebut.
Contoh Sederhana:
Perusahaan A menggunakan jasa freight forwarder B.
- Biaya Jasa (Fee) Freight Forwarder B: Rp 5.000.000
- Biaya Reimbursement (Kapal, Gudang, dll.): Rp 95.000.000
- Total Tagihan: Rp 100.000.000
Maka, PPN yang wajib dipungut oleh Freight Forwarder B adalah:
1,1% x Rp 100.000.000 = Rp1.100.000
Ini jauh lebih mudah daripada harus memilah-milah mana yang merupakan biaya jasa murni dan mana yang merupakan biaya penggantian untuk dihitung PPN secara terpisah, yang merupakan kerumitan dalam skema PPN normal.
Konsekuensi PPN Besaran Tertentu: Pajak Masukan
Penerapan PPN Besaran Tertentu dengan tarif 1,1% membawa konsekuensi mendasar terhadap mekanisme pengkreditan Pajak Masukan (Input Tax) yang diterima oleh freight forwarder. Ini adalah bagian yang wajib dipahami untuk menghindari kerugian.
Prinsip PPN Normal vs. PPN Besaran Tertentu
Dalam sistem PPN normal (tarif 12%), perusahaan bertindak sebagai pemungut (Pajak Keluaran) dan sekaligus pengguna (Pajak Masukan). Perusahaan berhak mengkreditkan seluruh Pajak Masukan yang ia bayar (saat membeli barang/jasa) untuk mengurangi kewajiban Pajak Keluaran (saat menjual barang/jasa).
PPN Terutang = Pajak Keluaran – Pajak Masukan
Pelarangan Pengkreditan Pajak Masukan
Ketika sebuah perusahaan freight forwarding memilih untuk menggunakan mekanisme PPN Besaran Tertentu 1,1%, secara otomatis mereka TIDAK berhak mengkreditkan Pajak Masukan atas perolehan barang atau jasa terkait yang digunakan dalam penyerahan jasa freight forwarding tersebut.
Mengapa demikian?
PPN Besaran Tertentu 1,1% sudah dianggap sebagai PPN yang “final” dan sederhana. Logika di baliknya adalah bahwa tarif 1,1% tersebut sudah mempertimbangkan dan mengakomodasi seluruh potensi Pajak Masukan yang mungkin timbul, sehingga negara tidak perlu lagi mengizinkan pengkreditan.
Dampak Praktis:
Ketika freight forwarder membayar biaya kepada perusahaan pelayaran, trucking, atau gudang, dan menerima Faktur Pajak dengan PPN 12% atas biaya-biaya tersebut, PPN 12% ini tidak boleh dikreditkan.
- Pajak Masukan tersebut harus diperlakukan sebagai biaya (cost), yang akan mengurangi laba dan secara tidak langsung menjadi komponen pengurang dalam perhitungan Pajak Penghasilan (PPh) Badan.
- Ini berarti PPN 1,1% yang dipungut dari pelanggan adalah kewajiban yang harus disetor penuh kepada negara.
Dilema Pengusaha Kena Pajak (PKP)
Seorang freight forwarder harus terdaftar sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP). Namun, dalam konteks jasa ini, status PKP mereka “terbatas” karena tidak dapat memanfaatkan hak pengkreditan Pajak Masukan secara penuh.
Oleh karena itu, setiap freight forwarder harus melakukan analisis biaya-manfaat: apakah manfaat dari PPN 1,1% yang sederhana (dan lebih rendah) sebanding dengan kerugian atas tidak dapat dikreditkannya Pajak Masukan yang besar (dengan tarif 12%)? Dalam mayoritas kasus di industri logistik, PPN Besaran Tertentu ini memang lebih menguntungkan dan secara signifikan menyederhanakan administrasi pajak.
Pajak Penghasilan (PPh) dalam JPT
Setelah PPN, kewajiban pajak kedua yang harus dipenuhi adalah Pajak Penghasilan (PPh), yang dikenakan atas laba atau keuntungan yang diperoleh perusahaan. Dalam freight forwarding, terdapat dua jenis PPh utama: PPh Badan dan PPh Pemotongan/Pemungutan.
PPh Badan (Corporate Income Tax)
PPh Badan adalah pajak tahunan yang dikenakan atas seluruh laba bersih perusahaan freight forwarding.
Dasar Penghitungan:
Laba bersih dihitung dari Pendapatan Bruto dikurangi Biaya-biaya yang Diizinkan (Deductible Expenses).
Laba Kena Pajak = Pendapatan – Biaya
Aspek Kunci:
- Pendapatan: Yang diakui sebagai pendapatan perusahaan adalah Imbalan Jasa (Fee) yang diperoleh, bukan total tagihan (total tagihan dikurangi biaya reimbursement pihak ketiga).
- Biaya (Pajak Masukan yang Tidak Dikreditkan): Seperti dijelaskan sebelumnya, Pajak Masukan PPN 12% yang tidak dapat dikreditkan (karena menggunakan PPN 1,1%) akan diperlakukan sebagai biaya operasional yang dapat mengurangi laba kena pajak. Ini adalah kompensasi pajak bagi perusahaan.
Tarif PPh Badan:
Tarif PPh Badan umum di Indonesia saat ini adalah 22%. Namun, bagi Wajib Pajak Badan yang memiliki peredaran bruto tertentu (misalnya, di bawah Rp 50 Miliar), mereka berhak mendapatkan fasilitas pengurangan tarif 50% dari tarif normal atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp 4,8 Miliar.
PPh Pemotongan/Pemungutan (PPh Pot/Put)
Perusahaan freight forwarding dapat bertindak sebagai Pemotong/Pemungut Pajak saat mereka membayar kepada penyedia jasa lain (misalnya, perusahaan trucking domestik, jasa konsultan, atau agen asuransi). Mereka juga menjadi Pihak yang Dipotong Pajak saat pelanggan (perusahaan lain) membayar jasa freight forwarding kepada mereka.
PPh Pasal 23 (PPh atas Jasa Domestik)
Ketika perusahaan freight forwarding menerima pembayaran dari pelanggan perusahaan lain, pelanggan tersebut wajib memotong PPh Pasal 23 atas nilai imbalan jasa (fee) freight forwarding sebelum PPN ditambahkan.
- Tarif PPh Pasal 23: 2% dari nilai imbalan jasa (sebelum PPN).
- Dasar Pengenaan Pajak (DPP): Hanya dikenakan atas Imbalan Jasa (Fee) murni freight forwarder, tidak termasuk biaya reimbursement pihak ketiga. Penting untuk memisahkan secara jelas mana yang fee dan mana yang biaya reimbursement dalam invoice.
- Fungsi: PPh Pasal 23 yang dipotong ini berfungsi sebagai kredit pajak bagi perusahaan freight forwarding di akhir tahun.
PPh Pasal 26 (PPh atas Transaksi Internasional)
Ketika perusahaan freight forwarding membayar jasa kepada penyedia jasa logistik yang berkedudukan di luar negeri (entitas asing), perusahaan wajib memotong PPh Pasal 26.
- Tarif PPh Pasal 26: 20% dari penghasilan bruto, kecuali jika terdapat Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) atau Tax Treaty antara Indonesia dan negara domisili penyedia jasa tersebut.
- Fungsi: PPh ini merupakan pajak atas penghasilan yang bersumber dari Indonesia yang diterima oleh subjek pajak luar negeri.
Administrasi dan Kepatuhan Pajak
Kepatuhan pajak adalah kunci keberlanjutan bisnis. Bagi freight forwarder, terdapat beberapa kewajiban administrasi yang harus dilakukan secara disiplin.
Penerbitan Faktur Pajak
Kewajiban paling utama bagi PKP freight forwarder adalah menerbitkan Faktur Pajak atas setiap penyerahan jasa. Faktur Pajak ini wajib mencantumkan:
- Dasar Pengenaan Pajak (DPP): Nilai Total Tagihan (Imbalan Jasa + Biaya Reimbursement).
- PPN Terutang: Sebesar 1,1% dari DPP.
Faktur Pajak ini menggunakan kode transaksi khusus untuk PPN Besaran Tertentu (misalnya, kode 04 atau kode yang ditetapkan untuk penyerahan dengan DPP Nilai Lain, tergantung panduan DJP). Kesalahan kode faktur dapat menyebabkan pelanggan (sebagai pembeli jasa) tidak dapat mengkreditkan PPN yang mereka bayar.
Pelaporan SPT Masa PPN
Perusahaan wajib melaporkan pemungutan PPN Besaran Tertentu ini dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPN setiap bulan. Karena tidak ada pengkreditan Pajak Masukan, perhitungan dalam SPT menjadi sangat sederhana: PPN Keluaran 1,1% yang dipungut akan sama dengan PPN yang harus disetor.
Pembukuan yang Terperinci
Kompleksitas bisnis freight forwarding menuntut pembukuan yang sangat rapi, terutama untuk memisahkan secara jelas:
- Imbalan Jasa Murni (Fee): Penting untuk perhitungan PPh Badan dan PPh Pasal 23.
- Biaya yang Di-reimburse: Penting agar tidak salah dihitung sebagai pendapatan PPh.
- Bukti Pengeluaran (Faktur Pajak Masukan): Walaupun tidak dikreditkan PPN-nya, Faktur Pajak dan bukti pembayaran ini tetap harus didokumentasikan sebagai bukti biaya operasional yang sah untuk perhitungan PPh Badan.
Tantangan Penentuan DPP dalam Praktik
Salah satu tantangan terbesar adalah bagaimana memastikan bahwa tagihan yang diterima pelanggan sudah mencerminkan pemisahan yang benar antara fee murni dan biaya pihak ketiga, terutama dalam konteks PPh Pasal 23.
Jika invoice hanya mencantumkan total tagihan, pemotong PPh Pasal 23 oleh pelanggan mungkin akan mengenakan 2% atas keseluruhan nilai, padahal seharusnya hanya atas fee jasa. Oleh karena itu, freight forwarder harus proaktif dalam membuat invoice yang transparan dan merinci komponen biaya.
Kesimpulan
Rezim PPN 1,1% melalui PMK 11/2025 adalah langkah maju pemerintah dalam memberikan kepastian hukum dan kemudahan administrasi bagi industri freight forwarding. Dengan tarif yang lebih rendah dan skema PPN yang lebih sederhana, diharapkan sektor logistik Indonesia dapat semakin efisien dan kompetitif.
Meskipun tarifnya terlihat lebih sederhana, para pelaku usaha tetap harus waspada terhadap konsekuensi fundamentalnya, yaitu pelarangan pengkreditan Pajak Masukan. Pengaturan ini menuntut perusahaan untuk mengintegrasikan pemahaman PPN 1,1% dengan perencanaan PPh Badan mereka.
Kunci kesuksesan pajak dalam bisnis freight forwarding terletak pada tiga pilar:
- Pemahaman Regulasi: Mengikuti perkembangan PMK terbaru (seperti PMK 11/2025).
- Administrasi yang Rapi: Dokumentasi yang jelas mengenai PPN (Faktur Pajak 1,1%) dan PPh (pemisahan fee dan reimbursement).
- Kepatuhan Tepat Waktu: Penyetoran dan pelaporan PPN dan PPh secara teratur.
Dengan kepatuhan yang tinggi dan pemanfaatan skema pajak yang tepat, perusahaan freight forwarding tidak hanya akan memenuhi kewajibannya kepada negara, tetapi juga dapat mengoptimalkan efisiensi biaya, yang pada akhirnya akan memperkuat peran vital mereka sebagai tulang punggung perekonomian nasional dan global.
