Pajak Bisnis Waralaba (Penggunaan Merek)

Bisnis waralaba atau franchise telah menjadi salah satu model usaha yang paling digemari di Indonesia. Fenomena ini tidak terlepas dari daya tarik utamanya: kemudahan sistem bisnis yang telah teruji, dukungan dari pemilik merek (franchisor), serta risiko kegagalan yang relatif lebih kecil dibandingkan merintis usaha dari nol. Inti dari bisnis waralaba adalah penggunaan merek atau brand image yang sudah kuat di mata masyarakat.

Namun, di balik citra kemudahan dan kesuksesan, terdapat aspek krusial yang harus dipahami oleh setiap pelaku usaha, baik franchisor (pemberi waralaba) maupun franchisee (penerima waralaba), yaitu aspek perpajakan. Penggunaan merek dagang yang menjadi kunci keberhasilan waralaba selalu disertai dengan pembayaran royalti (royalty fee), dan pembayaran inilah yang menjadi objek utama pemajakan.

Konsep Dasar Waralaba dan Kekayaan Intelektual

Untuk memahami aspek pajaknya, kita perlu memahami dulu apa yang dimaksud dengan waralaba. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2024 tentang Waralaba, waralaba didefinisikan sebagai hak khusus yang dimiliki oleh perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan kriteria yang telah ditetapkan. Sistem ini terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan/digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba.

Suatu kegiatan bisnis dapat dikategorikan sebagai waralaba jika memenuhi kriteria berikut, yang salah satunya sangat erat kaitannya dengan merek:

  1. Memiliki sistem bisnis yang terstruktur.
  2. Bisnis sudah memberikan keuntungan.
  3. Memiliki Kekayaan Intelektual (KI) yang tercatat atau terdaftar, inilah yang mencakup Merek Dagang.
  4. Dukungan yang berkesinambungan dari franchisor kepada franchisee.

Dari kriteria di atas, jelas bahwa merek dagang adalah tulang punggung sistem waralaba. Ketika franchisee membayar royalty fee atau biaya waralaba kepada franchisor, sebagian besar dari pembayaran tersebut adalah kompensasi atas hak untuk menggunakan dan memanfaatkan merek serta sistem bisnis yang melekat pada merek tersebut.

Aspek Pajak Penghasilan (PPh) atas Pembayaran Royalti

Pembayaran royalti merupakan jantung finansial dalam perjanjian waralaba. Bagi franchisor, ini adalah penghasilan. Bagi franchisee, ini adalah biaya. Dalam kacamata perpajakan, royalti termasuk dalam kategori penghasilan dari penggunaan harta tak berwujud, sehingga wajib dipotong Pajak Penghasilan (PPh).

PPh Pasal 23: Waralaba Dalam Negeri

Ketika franchisee (penerima waralaba) membayar royalti kepada franchisor (pemberi waralaba) yang merupakan Wajib Pajak Dalam Negeri (WPDN), maka atas pembayaran tersebut wajib dilakukan pemotongan PPh Pasal 23.

Tarif dan Dasar Pengenaan Pajak (DPP)

  • Tarif: Sebesar 15% (lima belas persen).
  • DPP: Dikenakan atas jumlah bruto royalti yang dibayarkan, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Siapa yang Memotong dan Menyetor?

  • Kewajiban Pemotongan: Berada di pihak Franchisee (sebagai pihak yang membayar/memanfaatkan). Franchisee wajib memotong 15% dari royalti, menyetornya ke kas negara atas nama franchisor, dan memberikan bukti potong PPh Pasal 23 kepada franchisor.
  • Fungsi Bukti Potong: Bukti potong ini akan menjadi kredit pajak (pengurang) atas PPh terutang franchisor di akhir tahun pajak.

PPh Pasal 26: Waralaba Luar Negeri (Internasional)

Jika franchisor berada di luar negeri (disebut juga Wajib Pajak Luar Negeri atau WPLN), maka franchisee yang melakukan pembayaran royalti wajib memotong PPh Pasal 26. Ini terjadi pada kasus waralaba internasional.

Tarif dan DPP

  • Tarif Normal: Sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto.
  • Perlakuan Tax Treaty: Jika antara Indonesia dan negara domisili franchisor terdapat perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B) atau yang sering disebut Tax Treaty, tarif yang berlaku bisa lebih rendah dari 20% (misalnya 10% atau 15%). Pemanfaatan Tax Treaty wajib menyertakan Surat Keterangan Domisili (SKD) dari franchisor luar negeri.
  • DPP: Atas jumlah bruto royalti.

Siapa yang Memotong dan Menyetor?

  • Kewajiban Pemotongan: Tetap berada di pihak Franchisee di Indonesia. Franchisee bertindak sebagai pemotong PPh Pasal 26 dan menyetorkannya ke kas negara.

Perlakuan Khusus Bagi Orang Pribadi (NPPN)

Terdapat pengecualian atau perlakuan khusus jika franchisor adalah Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP) yang melakukan pencatatan dan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN). Perlakuan ini diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 1 Tahun 2023 (PER-1/2023).

  • Dasar Pengenaan Pajak (DPP) Khusus: Jika WPOP menggunakan NPPN, DPP yang menjadi dasar pemotongan PPh Pasal 23 bukanlah 100% dari bruto royalti, melainkan hanya 40% dari jumlah bruto royalti.
  • Tarif Efektif: Dengan DPP 40% dan tarif 15%, maka tarif efektif PPh Pasal 23 yang dipotong menjadi 15% x 40% = 6%.
  • Syarat: Franchisor wajib menyerahkan bukti penerimaan surat pemberitahuan penggunaan NPPN kepada franchisee (pemotong PPh Pasal 23). Tanpa bukti ini, pemotongan akan kembali ke tarif normal 15% dari bruto 100%.
Jenis FranchisorObjek PajakDasar PemotonganTarif PPhKewajiban Pemotong
WPDN (Badan/OP Non-NPPN)RoyaltiBruto 100%PPh Pasal 23 (15%)Franchisee
WPDN (OP Pengguna NPPN)RoyaltiBruto 40%PPh Pasal 23 (15%)Franchisee
WPLN (Luar Negeri)RoyaltiBruto 100%PPh Pasal 26 (20% atau Tax Treaty)Franchisee

Aspek Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas Penggunaan Merek

Selain PPh atas penghasilan (royalti), penyerahan hak penggunaan merek juga memiliki implikasi terhadap Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Merek sebagai BKP Tidak Berwujud

Penggunaan merek dagang dalam waralaba dikategorikan sebagai penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) Tidak Berwujud. Sesuai dengan Pasal 4 ayat (1) huruf g Undang-Undang PPN, penyerahan hak penggunaan merek dagang oleh franchisor termasuk dalam penyerahan yang terutang PPN.

  • Tarif: Mengikuti tarif PPN yang berlaku umum (saat ini 11%).
  • DPP: Nilai yang menjadi dasar PPN adalah harga jual atau nilai penggantian, yaitu jumlah royalti (termasuk initial fee jika ada).

Syarat Pemungutan PPN

PPN atas penyerahan hak merek dagang di dalam negeri hanya dapat dipungut jika franchisor telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP).

  • Jika franchisor adalah PKP, maka PPN 11% wajib ditambahkan pada tagihan royalti kepada franchisee. Franchisee dapat mengkreditkan PPN Masukan ini (jika franchisee juga PKP).
  • Jika franchisor belum PKP, maka PPN tidak terutang.

PPN atas Pemanfaatan Merek dari Luar Negeri

Ketika waralaba berasal dari luar negeri (franchisor WPLN), PPN tetap terutang di Indonesia karena pemanfaatan BKP Tidak Berwujud tersebut terjadi di dalam Daerah Pabean Indonesia.

Mekanisme PPN Luar Negeri

Berbeda dengan PPN domestik, PPN atas pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dari luar negeri (seperti hak merek) tidak disetor oleh franchisor luar negeri. Justru, kewajiban penyetoran PPN berada di pihak franchisee (pihak yang memanfaatkan BKP Tidak Berwujud tersebut).

  • Franchisee wajib menghitung PPN sebesar 11% dari nilai royalti, menyetor PPN tersebut ke kas negara menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP), dan melaporkannya. SSP ini berlaku sebagai bukti pungutan PPN yang nantinya dapat dikreditkan (sebagai PPN Masukan) jika franchisee adalah PKP.
  • Dalam konteks ini, franchisee berfungsi ganda, yaitu sebagai pemotong PPh Pasal 26 dan sebagai pihak yang menyetor sendiri PPN atas pemanfaatan hak merek tersebut.

Implikasi dan Kepatuhan: Peran Franchisee sebagai Pemotong/Penyetor

Dalam sistem perpajakan waralaba, khususnya yang berkaitan dengan royalti dan penggunaan merek, peran franchisee sangat sentral dan krusial. Franchisee bukan hanya sekadar pembayar, melainkan juga bertindak sebagai agen pemungut dan pemotong pajak untuk negara.

Kewajiban Pemotongan dan Pemungutan

  • PPh (Pemotongan): Setiap kali franchisee membayar royalti, ia wajib memotong PPh Pasal 23 (untuk franchisor WPDN) atau PPh Pasal 26 (untuk franchisor WPLN).
  • PPN (Pemungutan/Penyetoran):
    • Jika Franchisor WPDN PKP: Franchisee menerima faktur pajak dan PPN dibayar ke franchisor.
    • Jika Franchisor WPLN: Franchisee wajib menyetor sendiri PPN atas pemanfaatan hak merek.

Sanksi Kepatuhan

Kelalaian dalam menjalankan kewajiban ini akan berdampak hukum bagi franchisee:

  • Jika franchisee lupa memotong PPh, maka franchisee akan dikenakan sanksi berupa denda, dan kewajiban PPh yang terutang tetap harus dilunasi.
  • Jika franchisee lupa menyetor PPN atas waralaba luar negeri, otoritas pajak dapat menagih PPN terutang beserta sanksinya kepada franchisee.

Oleh karena itu, administrasi perpajakan yang tertib, terutama terkait dengan pembuatan bukti potong (untuk PPh) dan pengarsipan SSP/Faktur Pajak (untuk PPN), adalah kunci untuk menghindari sengketa pajak di kemudian hari.

Kesimpulan

Bisnis waralaba menawarkan peta jalan menuju kesuksesan dengan memanfaatkan reputasi merek yang sudah dibangun. Namun, kesuksesan ini harus berjalan beriringan dengan kepatuhan fiskal yang benar.

Penggunaan merek dalam waralaba secara otomatis menciptakan dua jenis kewajiban pajak utama: PPh atas penghasilan (royalti) dan PPN atas penyerahan BKP Tidak Berwujud. Baik franchisor maupun franchisee harus memahami posisi dan kewajiban masing-masing, terutama peran franchisee sebagai pihak yang bertanggung jawab atas pemotongan, pemungutan, dan penyetoran pajak.

Memahami dan melaksanakan aspek pemajakan ini secara benar bukan hanya soal menjalankan kewajiban hukum, tetapi juga bagian integral dari praktik bisnis yang profesional, berkelanjutan, dan bertanggung jawab. Dengan kepatuhan pajak yang baik, bisnis waralaba dapat tumbuh sehat, memberikan kontribusi positif bagi perekonomian nasional, dan menghindari risiko sengketa dengan otoritas pajak.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top