Data Konkret yang Bisa Menjadi Dasar Pemeriksaan Pajak

Setiap Wajib Pajak (WP), baik individu maupun badan usaha, memiliki kewajiban untuk menghitung, membayar, dan melaporkan pajaknya dengan benar. Dalam sistem perpajakan di Indonesia, kita menganut sistem self-assessment, di mana WP diberikan kepercayaan penuh untuk menghitung sendiri kewajiban pajaknya. Namun, kepercayaan ini tentu perlu diawasi. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) memiliki fungsi pengawasan dan penegakan hukum. Salah satu alat paling penting dalam fungsi ini adalah Pemeriksaan Pajak. Pemeriksaan dilakukan bukan semata-mata untuk mencari kesalahan, tetapi untuk menguji kepatuhan WP dan memastikan kebenaran Surat Pemberitahuan (SPT) yang telah disampaikan.

Pemeriksaan Pajak dapat timbul dari berbagai hal, mulai dari pemilihan secara acak (seleksi risiko) hingga adanya indikasi ketidakpatuhan. Namun, ada satu jalur yang sangat spesifik dan cepat, yaitu Pemeriksaan yang didasarkan pada Data Konkret. Data Konkret adalah informasi yang jelas dan pasti yang dimiliki oleh DJP, yang secara langsung menunjukkan adanya kewajiban perpajakan yang belum atau kurang dipenuhi oleh Wajib Pajak. Keberadaan data ini membuat DJP dapat langsung bertindak, bahkan dengan mekanisme pemeriksaan yang lebih cepat dan terfokus, yang dikenal sebagai Pemeriksaan Spesifik.

Dasar hukum utama yang mengatur mengenai jenis-jenis Data Konkret ini diatur dalam regulasi terbaru, yaitu Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-18/PJ/2025 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 15 Tahun 2025.

Pilar Utama Data Konkret

Berdasarkan regulasi yang berlaku, DJP mengelompokkan Data Konkret yang dapat menjadi dasar pemeriksaan menjadi tiga jenis utama. Ketiga jenis ini mencakup data yang paling sering menjadi sumber potensi ketidakpatuhan Wajib Pajak.

1. Faktur Pajak yang Tidak Dilaporkan

Jenis data konkret yang pertama berfokus pada Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan melibatkan sistem informasi DJP. Data ini muncul ketika:

Faktur Pajak yang sudah memperoleh persetujuan melalui sistem informasi milik DJP (e-Faktur), tetapi belum atau tidak dilaporkan oleh Wajib Pajak dalam SPT Masa PPN.

Dalam konteks PPN, setiap Pengusaha Kena Pajak (PKP) wajib menerbitkan Faktur Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP). Faktur ini harus diunggah dan mendapatkan persetujuan (kode approval) dari sistem e-Faktur DJP.

Contoh Kasus: WP A menjual barang kepada WP B dan menerbitkan Faktur Pajak senilai Rp 10 juta (PPN Rp 1 juta). Faktur ini sudah divalidasi oleh DJP. Namun, saat WP A (sebagai penjual) melaporkan SPT Masa PPN-nya, Faktur Pajak Rp 1 juta tersebut tidak dimasukkan ke dalam kolom Pajak Keluaran. DJP memiliki catatan bahwa faktur itu terbit, disetujui, tetapi tidak dilaporkan. Inilah yang menjadi Data Konkret.

2. Bukti Potong/Pungut PPh yang Belum Dilaporkan

Pajak Penghasilan (PPh) sering kali melibatkan pihak ketiga sebagai pemotong atau pemungut pajak. Jenis data konkret kedua ini berkaitan dengan kewajiban pemotong/pemungut:

Bukti pemotongan atau pemungutan PPh yang belum atau tidak dilaporkan oleh penerbit bukti pemotongan atau pemungutan dalam SPT Masa PPh.

PPh seperti PPh Pasal 21, PPh Pasal 23, PPh Pasal 4 ayat (2), dan PPh Pasal 26 dipotong oleh pemberi penghasilan. Pemotong wajib melaporkan dan menyetorkan potongan tersebut. DJP memiliki basis data dari pihak-pihak yang telah memotong dan melaporkan pemotongan tersebut.

Contoh Kasus: Perusahaan X membayar jasa konsultan kepada Perusahaan Y dan memotong PPh Pasal 23 sebesar 2%. Perusahaan X melaporkan pemotongan tersebut dalam SPT Masa PPh Pasal 23-nya. Namun, Perusahaan Y (penerima penghasilan) tidak memasukkan atau tidak melaporkan penghasilan jasa tersebut dalam perhitungan PPh Badan Tahunan mereka. Data pemotongan yang dilaporkan oleh Perusahaan X menjadi Data Konkret untuk menguji kepatuhan Perusahaan Y.

3. Bukti Transaksi atau Data Perpajakan Lain

Jenis ketiga adalah payung besar yang mencakup berbagai data dan/atau keterangan lain yang dimiliki DJP, yang secara valid dan jelas dapat digunakan untuk menghitung kewajiban perpajakan Wajib Pajak. Inilah kategori yang paling rinci dan memiliki banyak turunan, menjadikannya sumber utama bagi Pemeriksaan Spesifik.

Merinci Bukti Transaksi dan Data Perpajakan Lain

Untuk memberikan pemahaman yang utuh, perlu diuraikan secara detail apa saja yang termasuk dalam kategori Bukti Transaksi atau Data Perpajakan Lain, sebagaimana diperinci dalam Pasal 2 ayat (2) PER 18/2025.

a. Kelebihan Kompensasi PPN yang Tidak Didukung

Masalah sering timbul ketika Wajib Pajak mengajukan permohonan kelebihan pembayaran PPN untuk dikompensasikan ke masa pajak berikutnya. Kelebihan kompensasi pada SPT Masa PPN yang tidak didukung dengan kelebihan bayar pada SPT Masa PPN sebelumnya. Jika pada SPT Masa PPN bulan ini WP mengklaim ada kompensasi dari bulan lalu, DJP akan langsung memeriksa SPT bulan lalu. Apabila di bulan lalu ternyata tidak ada status lebih bayar atau kompensasi yang diizinkan, maka klaim kompensasi bulan ini adalah data konkret yang salah dan dapat memicu pemeriksaan.

b. Penggunaan Pedoman Pengkreditan Pajak Masukan yang Tidak Sesuai

Ketentuan perpajakan membatasi siapa saja yang berhak menggunakan pedoman tertentu dalam mengkreditkan Pajak Masukan. Penghitungan kembali Pajak Masukan sebagai pengurang Pajak Keluaran oleh Wajib Pajak yang tidak berhak menggunakan pedoman pengkreditan Pajak Masukan. Pedoman pengkreditan hanya diperbolehkan bagi PKP tertentu. Apabila WP yang seharusnya menggunakan mekanisme normal (menggunakan total Pajak Masukan yang sebenarnya) malah menggunakan pedoman, data ini menjadi dasar pemeriksaan.

c. PPN Disetor di Muka yang Kurang Dibayar

Ini terkait dengan kewajiban PPN yang harus disetorkan di awal, misalnya PPN atas kegiatan membangun sendiri. Jika ada kegiatan yang mewajibkan penyetoran PPN di muka (misalnya, WP membangun gudang sendiri dan PPN harus disetor berdasarkan tarif tertentu dari biaya pembangunan), dan jumlah yang disetor ternyata kurang dari kewajiban yang seharusnya, maka kekurangan tersebut menjadi Data Konkret.

d. Pemanfaatan Insentif Pajak yang Tidak Sesuai

Pemerintah sering memberikan insentif pajak (misalnya, PPh ditanggung pemerintah atau pengurangan tarif) untuk mendorong perekonomian. Jika Wajib Pajak memanfaatkan insentif yang tidak sesuai dengan kriteria yang ditetapkan (misalnya, WP mendapatkan fasilitas pengurangan tarif PPh Badan padahal omzetnya melebihi batas yang ditentukan), maka pemanfaatan yang keliru tersebut adalah Data Konkret.

e. Pengkreditan Pajak Masukan yang Tidak Sesuai Ketentuan

Ini adalah salah satu area paling rawan dalam PPN. Contohnya termasuk mengkreditkan Pajak Masukan dari Faktur Pajak yang bukan atas nama sendiri, dari Faktur Pajak yang masa pajaknya lebih dari 3 bulan setelah masa penerbitannya, atau Faktur Pajak yang terkait dengan pengeluaran yang tidak berhubungan langsung dengan kegiatan usaha.

f. Penghasilan yang Tidak atau Kurang Dilaporkan

Poin ini berkaitan erat dengan Data Konkret nomor 2, namun diperluas:

Penghasilan yang tidak atau kurang dilaporkan berdasarkan data bukti potong yang dimiliki DJP dan/atau kekeliruan sehubungan dengan penggunaan Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN).

DJP secara otomatis mencocokkan data penghasilan yang dilaporkan oleh WP dengan data bukti potong yang diterima dari pihak lain. Jika ada selisih, selisih tersebut adalah Data Konkret. Selain itu, bagi WP yang menggunakan NPPN (khusus WP Orang Pribadi dengan omzet tertentu), jika penggunaan NPPN-nya keliru (misalnya, omzetnya sudah melebihi batas NPPN tetapi tetap menggunakannya), ini juga menjadi dasar pemeriksaan.

g. Data dari Keputusan Pajak yang Bersifat Inkrah

Data ini bersifat post-mortem, yaitu berasal dari hasil sengketa pajak sebelumnya yang sudah final dan mengikat (inkrah). Data dan/atau keterangan yang bersumber dari ketetapan dan/atau keputusan di bidang perpajakan dan/atau putusan atas sengketa penerapan ketentuan peraturan perundangan-undangan di bidang perpajakan, yang bersifat inkrah, yang dapat langsung digunakan untuk menghitung kewajiban perpajakan yang tidak atau kurang dilaporkan oleh Wajib Pajak dalam SPT.

Misalnya, jika Putusan Banding di Pengadilan Pajak menghukum WP A untuk membayar kekurangan pajak jenis X, keputusan tersebut menjadi Data Konkret untuk menagih atau memproses kekurangan pajak jenis X yang sama di tahun-tahun lain, jika polanya terulang.

h. Data SP2DK yang Disetujui Namun Belum Dipenuhi

Sebelum pemeriksaan, DJP sering mengirimkan Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan (SP2DK) untuk memberikan kesempatan kepada WP memperbaiki diri.

Data dan/atau keterangan yang telah diterbitkan Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan (SP2DK), dan atas SP2DK disetujui untuk ditindaklanjuti oleh Wajib Pajak namun belum dipenuhi sampai dengan batas waktu.

Jika WP melalui SP2DK mengakui ada kekurangan pajak dan berjanji akan melakukan penyetoran atau pembetulan SPT, tetapi sampai batas waktu yang ditentukan WP tidak memenuhi janji tersebut, maka janji yang tidak ditepati tersebut menjadi Data Konkret yang sah untuk langsung ditindaklanjuti dengan Pemeriksaan Pajak.

Mekanisme Tindak Lanjut: Pemeriksaan Spesifik

Data Konkret tidak serta merta langsung memicu Pemeriksaan Lapangan yang memakan waktu lama. Sesuai dengan ketentuan PMK 15/2025 dan PER 18/2025, tindak lanjut atas Data Konkret dilakukan melalui dua tahapan utama:

1. Pengujian Sederhana

Sebelum memutuskan pemeriksaan, DJP akan melakukan pengujian secara sederhana dan terbatas terhadap Data Konkret yang dimiliki. Pengujian ini bertujuan untuk memvalidasi dan mengkonfirmasi kebenaran data tersebut. Jika hasil pengujian sederhana menyimpulkan bahwa data tersebut valid dan berpotensi menimbulkan kekurangan pembayaran pajak, maka DJP akan melanjutkannya ke tahap berikutnya.

2. Pemeriksaan Spesifik

Apabila Data Konkret telah teruji kebenarannya, DJP dapat melakukan Pemeriksaan Spesifik. Karakteristik utama Pemeriksaan Spesifik adalah:

  • Fokus Terbatas: Pemeriksaan ini hanya terbatas pada jenis pajak dan masa pajak yang terindikasi masalah berdasarkan Data Konkret yang dimiliki DJP. Pemeriksaan ini tidak bersifat menyeluruh ke seluruh jenis pajak atau seluruh laporan keuangan WP.
  • Jangka Waktu Singkat: Proses Pemeriksaan Spesifik ini dibatasi dalam jangka waktu yang sangat singkat, yaitu hanya 20 hari kerja.
    • 10 hari kerja pertama dialokasikan untuk kegiatan pengujian di lapangan atau kantor.
    • 10 hari kerja berikutnya digunakan untuk pembahasan akhir hasil pemeriksaan dan pelaporan.

Pemeriksaan Spesifik ini dirancang untuk cepat dan efisien. Jika dalam 20 hari kerja WP dan DJP tidak mencapai kesepakatan atau hasil pemeriksaan menemukan indikasi lain di luar Data Konkret yang perlu diteliti lebih dalam, pemeriksaan dapat diubah menjadi Pemeriksaan Lapangan atau Pemeriksaan Kantor yang bersifat umum (jangka waktu lebih lama).

Kesimpulan

Keberadaan ketentuan mengenai Data Konkret dan Pemeriksaan Spesifik ini memberikan pesan yang jelas kepada Wajib Pajak: DJP memiliki data yang kuat dan sistem yang terintegrasi.

Di era digital ini, DJP tidak lagi hanya mengandalkan laporan SPT yang disampaikan oleh Wajib Pajak. Data Konkret menunjukkan bahwa DJP melakukan cross-checking (rekonsiliasi silang) secara otomatis dari berbagai sumber: laporan transaksi bank, data impor/ekspor dari Bea Cukai, data pembelian/penjualan dari lawan transaksi, hingga data dari instansi pemerintah lain.

Bagi Wajib Pajak, kunci untuk menghindari pemeriksaan yang didasarkan pada Data Konkret adalah dengan melakukan rekonsiliasi data secara rutin. Pastikan:

  1. Seluruh Faktur Pajak Keluaran yang telah disetujui DJP sudah dilaporkan dalam SPT Masa PPN.
  2. Seluruh bukti potong PPh yang diterbitkan/diterima telah dicatat dan dilaporkan dengan benar.
  3. Tidak ada pemanfaatan fasilitas atau insentif pajak yang menyalahi aturan.
  4. Pembetulan SPT segera dilakukan jika ditemukan ketidaksesuaian data sebelum DJP mengirimkan SP2DK atau Surat Perintah Pemeriksaan (SP2).

Dengan memahami jenis-jenis Data Konkret ini, Wajib Pajak dapat proaktif menjaga kepatuhan dan memitigasi risiko Pemeriksaan Pajak, sehingga kegiatan usaha dapat berjalan lancar tanpa gangguan administrasi perpajakan.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top