Mengenal Pajak Penghasilan Badan

Sesuai Pasal 1 UU PPh No. 7 Tahun 1983, pengertian Pajak Penghasilan adalah pajak yang dikenakan terhadap orang pribadi atau perseorangan dan badan berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperolehnya selama satu tahun pajak. Artinya, Pajak Penghasilan Badan adalah pajak penghasilan yang dikenakan terhadap penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Badan.

Pajak Penghasilan

PPh Badan terbagi menjadi dua, yakni:

  • PPh Badan Final
    Pajak Penghasilan atau PPh Final adalah pajak penghasilan yang dikenakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh WP Badan berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto tertentu.
  • PPh Badan Tidak Final
    Pajak Penghasilan atau PPh Tidak Final adalah pajak penghasilan yang dikenakan atas penghasilan yang diterima oleh WP Badan berdasarkan Pasal 17 dan Pasal 31E Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan.

Subjek Pajak Penghasilan Badan

Merujuk pada Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh), penghasilan suatu badan atau perusahaan adalah setiap penambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh oleh Wajib Pajak Badan, baik dari dalam maupun luar negeri, dengan keperluan apapun termasuk misalnya menambah kekayaan, konsumsi, investasi, dan lain sebagainya. Lalu Subjek pajak Badan atau subjek PPh Badan adalah setiap Badan Usaha yang diberikan kewajiban untuk membayar pajak, baik dalam periode bulan maupun tahun dan disetor ke kas negara. Jenis subjek badan dibedakan menjadi dua, yaitu:

  1. Subjek Pajak Dalam Negeri
    Subjek Pajak Dalam Negeri adalah badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria:
    • Pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan
    • Pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
    • Penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat (Pempus) atau Pemerintah Daerah (Pemda)
    • Pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara
    • Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak
  1. Subjek Pajak Luar Negeri
    Subjek Pajak Luar Negeri adalah badan yang tidak didirikan dan tidak berkedudukan di Indonesia, yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia. Badan yang tidak didirikan dan tidak berkedudukan di Indonesia, yang memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia, juga termasuk Subjek Pajak Luar Negeri.

Objek Pajak Penghasilan Badan

Objek PPh Badan adalah penghasilan yang diterima atau diperoleh badan. Yang menjadi objek PPh badan adalah semua penghasilan baik dari dalam maupun dari luar negeri. Penghasilan yang menjadi Objek Pajak Badan sebagaimana tercantum dalam Pasal 4 Ayat (1) UU HPP meliputi:

  1. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya termasuk natura dan/atau kenikmatan, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini;
  2. Hadiah dari undian pekerjaan atau kegiatan dan penghargaan;
  3. Laba usaha;
  4. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk:
    • Keuntungan karena pengalihan harta sebagai pengganti saham
    • Keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham
    • Keuntungan karena likuidasi, penggabungan dan sejenisnya
    • Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibahan, bantuan, atau sumbangan
    • Keuntungan karena penjualan atau pengalihan Hak
  5. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan pembayaran tambahan pengembalian pajak;
  6. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang;
  7. Dividen dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis;
  8. Royalti atau imbalan atas penggunaan Hak;
  9. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
  10. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;
  11. Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;
  12. Keuntungan selisih kurs mata uang asing;
  13. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;
  14. Premi asuransi;
  15. Iuran yang diterima/diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari WP yang menjalankan usaha/pekerjaan bebas;
  16. Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak;
  17. Penghasilan dari usaha berbasis Syariah;
  18. Imbalan bunga sesuai UU KUP;
  19. Surplus Bank Indonesia.

Jenis-jenis PPh Badan

Berikut ini adalah jenis-jenis PPh Badan yang wajib disetor dan dilapor oleh Wajib Pajak Badan:

  1. PPh 21
    PPh 21 wajib dipotong oleh perusahaan pemberi kerja dari gaji yang diterima karyawan setiap bulannya atau dari penghasilan lainnya sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa dan kegiatan yang dilakukan yang termasuk dalam pengenaan PPh 21. Kemudian perusahaan atau WP Badan wajib menyetorkan pemotongan PPh 21 tersebut ke kas negara setiap bulannya
  2. PPh 22
    PPh 22 adalah pajak yang dikenakan kepada badan yang melakukan kegiatan perdagangan ekspor, impor, ataupun re-impor. PPh dipungut oleh Bendahara Pemerintah sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang, Badan tertentu dari Wajib Pajak yang melakukan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain, serta Wajib Pajak tertentu dari pembeli atas penjualan barang sangat mewah.
  3. PPh 23
    PPh Pasal 23 Adalah Pemotongan Atas Penghasilan Yang Dibayarkan Berupa Hadiah, Bunga, Deviden, Sewa/Penghasilan Lain sehubungan dengan penggunaan harta selain tanah/bangunan, seperti sewa kendaraan atau sewa sound system, Royalty, serta Jasa-Jasa Lainnya Selain Objek PPh Pasal 21.
  4. PPh 25
    PPh Pasal 25 merupakan pembayaran pajak penghasilan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak secara angsuran setiap bulan, sehingga Wajib Pajak tidak memiliki beban utang pajak yang besar dan harus dibayar sekaligus pada saat batas waktu penyampaian SPT Tahunan Pajak Penghasilan
  5. PPh 26
    adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi Wajib Pajak luar negeri di Indonesia, selain bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia.
  6. PPh 29
    Adalah PPh Kurang Bayar yang tercantum dalam SPT Tahunan PPh, yaitu sisa dari PPh yang terutang dalam tahun pajak yang bersangkutan dikurangi dengan kredit PPh (PPh Pasal 21, 22, 23, dan 24) dan PPh Pasal 25
  7. PPh Pasal 15
    Pajak Penghasilan Pasal 15 merupakan Pajak Penghasilan yang dipotong atau dikenakan kepada Wajib Pajak tertentu. Pasal 15 UU PPh memberikan wewenang menteri keuangan untuk menentukan norma penghitungan khusus untuk menentukan pajak terutang. Hal tersebut dilakukan untuk menghindari kesulitan dalam menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi golongan Wajib Pajak tertentu tersebut. Norma disusun berdasarkan pertimbangan praktis atau sesuai dengan kelaziman pengenaan pajak dalam bidang-bidang usaha tersebut.
  8. PPh Pasal 4 (2)
    PPh Pasal 4 (2) adalah pemotongan atas penghasilan yang dibayarkan sehubungan dengan jasa tertentu dan sumber tertentu seperti jasa konstruksi, sewa tanah atau bangunan, pengalihan hak atas tanah atau bangunan, hadiah undian, dan lainnya. PPh Pasal 4 ayat (2) adalah pajak penghasilan yang bersifat final dan tidak bisa dikreditkan dengan pajak penghasilan terutang. Itulah mengapa, PPh Pasal 4 ayat (2) ini dikenal sebagai PPh Final.
  9. PPN
    Pajak pertambahan nilai adalah pajak yang dikenakan atas transaksi penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan Jasa Kena Pajak (JKP) yang dilakukan oleh wajib pajak pribadi atau wajib pajak badan yang telah menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP).
  10. PPnBM
    Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) adalah pajak yang dikenakan pada barang yang tergolong mewah kepada produsen untuk menghasilkan atau mengimpor barang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya. PPnBM hanya dikenakan 1 kali pada saat penyerahan barang ke produsen. PPh 22 mengatur penjualan barang sangat mewah, sedangkan PPnBM tentang barang mewah. PPh 22 mengatur ekspor dan impor barang mewah, sedangkan PPnBM tentang barang sangat mewah.

Tarif PPh Badan

Wajib pajak badan memiliki kewajiban untuk menghitung pajak, menyetor, serta melaporkan pajak atas semua penghasilannya sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku. Merujuk pada PP 23/2018 yang telah diperbarui dengan PP 55/2022, Wajib Pajak Badan UMKM yang memiliki Surat Keterangan pengunaan fasilitas PPh Final, maka pada tahun pajak 2023 ini masih bisa menggunakan tarif 0,5% sepanjang Surat Keterangan dikeluarkan setelah PP 23/2018 diberlakukan. Misalnya, CV Dua Enam memiliki Surat Keterangan yang dikeluarkan oleh KPP setempat pada tahun 2021. Maka batas akhir penggunaan tarif 0,5% adalah tahun 2024 sehingga pada tahun pajak 2023 CV Dua Enam masih bisa menggunakan fasilitas tarif tersebut.

Jika Perusahaan sudah melewati jangka waktu penggunaan fasilitas tarif 0,5% PPh Final, maka penghitungan PPh Badan kembali lagi menggunakan tarif umum Pasal 17. Akan tetapi, ketentuan tarif pajak Badan direvisi kembali melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), menjadi 22% mulai Tahun Pajak 2022. Tarif PPh Badan terbaru ini lebih tinggi 2% dibanding tarif PPh Badan peraturan sebelumnya pada UU No. 2/2020 yang sebesar 20%.

Tarif berdasarkan Omzet

Omzet/Peredaran Bruto adalah seluruh penghasilan yang diterima, baik orang pribadi maupun badan. Penghitungan PPh Badan berdasarkan jumlah peredaran bruto, yaitu:

  1. Wajib Pajak Badan dengan omzet kurang dari Rp4,8 miliar
    Wajib pajak badan dengan peredaran bruto di bawah Rp4,8 miliar setahun, dapat menggunakan PPh Final PP 23/2018 yg diperbarui dengan PP 55/2022 dalam jangka waktu tertentu.
  2. Wajib Pajak dengan omzet Rp4,8 miliar hingga Rp50 miliar
    Untuk Wajib Pajak dengan omzet tersebut, Badan memperoleh pengurangan sebesar 50% dari tarif pajak penghasilan yang dikalikan dengan penghasilan kena pajak. Fasilitas pengurangan tarif tersebut terdapat pada Pasal 31E UU PPh.
  3. Wajib Pajak dengan omzet lebih dari Rp50 miliar
    Wajib Pajak Badan dengan peredaran bruto lebih dari Rp50 miliar akan dihitung berdasarkan ketentuan umum atau tanpa fasilitas pengurangan tarif, yakni tarif PPh Badan x Penghasilan Kena Pajak.

Berikut ini adalah rangkuman tarif PPh Badan berdasarkan Omzet

Peredaran Bruto

Tarif

Kurang dari Rp4.800.000.000

= Menggunakan tarif 0,5%

Atau

= 50% x 22% x Penghasilan Kena Pajak

Rp4.800.000.000 s.d. Rp50.000.000.000

= ((50% x 22% x PKP dari bagian peredaran bruto yang memperoleh fasilitas)+(22% x PKP dari bagian peredaran bruto yang tidak memperoleh fasilitas))

Lebih dari Rp50.000.000.000

= 22% x Penghasilan Kena Pajak

Contoh kasus

Peredaran bruto CV Dua Enam dalam tahun pajak 2021 sebesar Rp30.000.000.000,00 (tiga puluh miliar rupiah) dengan Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Penghitungan Pajak Penghasilan yang terutang:

Jumlah Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang memperoleh fasilitas:
(Rp4.800.000.000,00 : Rp30.000.000.000,00) x Rp3.000.000.000,00 = Rp480.000.000,00

Jumlah Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang tidak memperoleh fasilitas:
Rp3.000.000.000,00 – Rp480.000.000,00 = Rp2.520.000.000,00

Pajak Penghasilan yang terutang:

  • (50% x 28%) x Rp480.000.000,00     = Rp  67.200.000,00
  • 28% x Rp2.520.000.000,00    = Rp705.600.000,00(+)

 Jumlah Pajak Penghasilan yang terutang        Rp 772.800.000,00

-o-o-

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top