Istilah Pajak Terbaru: Wajib Pajak Non-Aktif!

Pada tanggal 14 Oktober 2024, Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 81 Tahun 2024 tentang Ketentuan Perpajakan dalam rangka Pelaksanaan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (Coretax) yang akan berlaku pada tanggal 1 Januari 2025. Latar belakang penerbitan PMK ini adalah kebutuhan akan regulasi dalam rangka pelaksanaan pembaruan sistem administrasi perpajakan yang lebih transparan, efektif, akuntabel dan fleksibel.

PMK Nomor 81 Tahun 2024 memfasilitasi kemudahan-kemudahan yang akan dinikmati oleh Wajib Pajak. Kemudahan tersebut di antaranya:

  1. Registrasi menjadi lebih mudah, dapat dilakukan di semua Kantor Pelayanan Pajak (borderless), melalui berbagai saluran yang disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak atau melalui pihak lain (omni channel), dan tervalidasi dengan sumber data (single source of truth).
  2. Tersedianya Akun Wajib Pajak (Taxpayer Account) yang dapat diakses secara daring melalui Portal Wajib Pajak sehingga memudahkan Wajib Pajak untuk dapat melaksanakan hak dan/atau memuhi kewajiban perpajakan secara elektronik.
  3. Jatuh tempo pembayaran atau penyetoran masa beberapa jenis pajak diseragamkan menjadi tanggal 15 bulan berikutnya. Penyeragaman tersebut memudahkan tata kelola dan administrasi pembayaran pajak.
  4. Wajib Pajak dapat melakukan pembayaran dan penyetoran pajak menggunakan Deposit Pajak. Keberadaan deposit pajak dapat menghindarkan Wajib Pajak dari risiko keterlambatan pembayaran pajak.
  5. Pemerintah mempermudah proses permohonan fasilitas PPh tanpa perlu melampirkan Surat Keterangan Fiskal (SKF) sepanjang Wajib Pajak telah memenuhi kriteria yang ditentukan. Sebelumnya, untuk memperoleh fasilitas PPh, Wajib Pajak harus melampirkan SKF Wajib Pajak dan/atau seluruh pemegang saham.
  6. Satu kode billing dapat digunakan untuk membayar lebih dari satu jenis setoran pajak. Sebelumnya, satu kode billing hanya bisa digunakan untuk membayar satu jenis setoran pajak.
  7. Kemudahan dalam pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) dengan fitur prepopulated. Sebelumnya, fitur prepopulated amat bergantung pada pelaporan SPT Pemotong Pajak dan terbatas pada jenis pajak PPh Pasal 21. Ke depannya, fitur prepopulated otomatis akan tersedia dalam Coretax karena bukti potong dibuat di sana. Fitur ini tidak hanya mengakomodasi PPh Pasal 21, tetapi juga mencakup PPh Pasal 15, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, PPh Pasal 25, dan PPh Final Pasal 4 ayat (2), sehingga pelaporan SPT Tahunan PPh akan lebih efisien.
  8. Pendaftaran objek PBB untuk memperoleh Nomor Objek Pajak (NOP) dan pelaporan Surat Pemberitahuan Obyek Pajak (SPOP) dilakukan pada KPP tempat Wajib Pajak Pusat terdaftar. 

Selain kemudahan-kemudahan diatas, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 81 Tahun 2024 telah membawa satu istilah baru yang diperkenalkan dalam peraturan ini, yaitu “wajib pajak non-aktif”. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan istilah ini?

Apa itu Wajib Pajak Non-Aktif?

Seperti yang tercantum dalam Pasal 1 angka 68 PMK 81/2024, wajib pajak non-aktif adalah wajib pajak yang tidak lagi memenuhi syarat subjektif dan/atau objektif untuk menjadi wajib pajak, namun Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)-nya belum dihapus. Dengan kata lain, mereka adalah wajib pajak yang secara de facto tidak lagi berkewajiban membayar pajak, tetapi secara de jure masih tercatat sebagai wajib pajak. Jika diperhatikan, istilah Wajib Pajak Non-Aktif ini serupa dengan Wajib Pajak Non Efektif.

Kriteria Wajib Pajak Non-Aktif

Menurut PMK 81/2024, wajib pajak dapat dikategorikan sebagai non-aktif jika:

  1. Kriteria untuk Wajib Pajak Orang Pribadi
      • Melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas, tetapi tidak memenuhi syarat objektif karena menghentikan usahanya atau pekerjaan bebasnya
      • Tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas, tetapi tidak memenuhi syarat objektif karena belum atau tidak memperoleh penghasilan, atau memiliki penghasilan dibawah Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
      • Warga Negara Indonesia (WNI) berstatus sebagai penduduk yang berniat menjadi Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN), tetapi belum memenuhi syarat sebagai SPLN
      • WNI berstatus sebagai penduduk yang tidak lagi memenuhi persyaratan subjektif dan objektif
      • Wanita kawin yang telah memiliki NPWP yang kemudian memilih untuk melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya digabungkan dengan suaminya
      • Memenuhi kriteria tertentu yang ditetapkan oleh dirjen pajak
               
  2. Kriteria untuk Wajib Pajak Badan.
    Selain Wajib Pajak Orang Pribadi, KPP juga dapat menetapkan Wajib Pajak Badan sebagai Wajib Pajak Non-Aktif jika memenuhi syarat sebagai berikut:
      • Tidak memenuhi persyaratan subjektif dan objektif, tetapi masih dalam proses atau belum dilakukan penghapusan NPWP
      • memenuhi kriteria tertentu yang ditetapkan DJP
               
  3. Kriteria untuk Wajib Pajak Instansi Pemerintah
    KPP juga dapat menetapkan Wajib Pajak Instansi Pemerintah sebagai Wajib Pajak Non-Aktif jika memenuhi syarat sebagai berikut:
      • Tidak memenuhi persyaratan sebagai pemotong atau pemungut pajak namun belum dilakukan penghapusan NPWP
      • memenuhi kriteria tertentu yang ditetapkan DJP

Mengapa Status Non-Aktif Penting?

Status non-aktif memiliki sejumlah implikasi penting, baik bagi wajib pajak maupun bagi negara:

  1. Bagi Wajib Pajak:
      • Bebas Kewajiban Pelaporan: Wajib pajak non-aktif tidak perlu lagi menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) atau memenuhi kewajiban perpajakan lainnya.
      • Tidak Terkena Sanksi: Wajib pajak terbebas dari sanksi administrasi atau pidana karena tidak memenuhi kewajiban perpajakan.
      • Meningkatkan Kepastian Hukum: Status non-aktif memberikan kepastian hukum bagi wajib pajak terkait status perpajakannya.
               
  2. Bagi Negara:
      • Efisiensi Administrasi: Dengan adanya status non-aktif, database wajib pajak menjadi lebih akurat dan efisien.
      • Pencegahan Penyalahgunaan NPWP: Status non-aktif mencegah penyalahgunaan NPWP untuk tujuan yang tidak sah, seperti tindak pidana pencucian uang.
      • Peningkatan Kualitas Data Perpajakan: Data perpajakan menjadi lebih relevan dan dapat diandalkan untuk analisis dan pengambilan keputusan kebijakan.

Proses Penetapan Status Non-Aktif

Penetapan status non-aktif dapat dilakukan melalui beberapa cara, yaitu:

    • Permohonan Wajib Pajak: Wajib pajak dapat secara aktif mengajukan permohonan untuk ditetapkan sebagai wajib pajak non-aktif dengan menyertakan bukti-bukti yang mendukung. Keputusan tersebut akan diterbitkan paling lama 5 hari kerja setelah permohonan diterima secara lengkap.
    • Penetapan Kantor Pajak: Kantor pajak dapat menetapkan status non-aktif secara jabatan berdasarkan data yang dimiliki, seperti tidak adanya aktivitas perpajakan dalam jangka waktu tertentu.

Setelah ditetapkan sebagai wajib pajak non-aktif, status tersebut dapat dihapus jika:

    • Wajib pajak kembali melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang menimbulkan kewajiban perpajakan.
    • Terdapat kesalahan dalam penetapan status non-aktif.

Manfaat Menjadi Wajib Pajak Non-Aktif

  • Bebas dari kewajiban pelaporan
    Wajib pajak non-aktif tidak perlu lagi menyampaikan SPT atau memenuhi kewajiban perpajakan lainnya.
  • Tidak menerima surat teguran
    Wajib pajak non-aktif tidak akan menerima surat teguran dari kantor pajak.

Di sisi lain, konsep wajib pajak non-aktif juga membuka peluang untuk pengembangan layanan perpajakan yang lebih personal dan relevan dengan kebutuhan wajib pajak.

Konsep wajib pajak non-aktif merupakan langkah maju dalam reformasi perpajakan di Indonesia. Dengan adanya status non-aktif, diharapkan dapat meningkatkan efisiensi administrasi perpajakan, meningkatkan kepastian hukum bagi wajib pajak, dan mencegah penyalahgunaan NPWP. Namun, untuk mencapai tujuan tersebut, diperlukan upaya bersama dari semua pihak terkait dalam menyempurnakan regulasi dan sistem administrasi perpajakan.

-o-o-

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top