
Di tengah upaya pemulihan ekonomi dan dorongan kepemilikan rumah bagi masyarakat, Pemerintah Indonesia meluncurkan kebijakan yang sangat menarik: Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Ditanggung Pemerintah (DTP) untuk pembelian rumah tapak dan satuan rumah susun. Kebijakan ini, yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 60 Tahun 2025, menawarkan keringanan finansial yang signifikan, di mana pembeli (Wajib Pajak/WP) dapat menghemat 12% dari harga jual rumah—sebuah insentif yang nilainya bisa mencapai ratusan juta rupiah.
Namun, layaknya setiap fasilitas pajak, insentif PPN DTP bukanlah hak yang diperoleh secara otomatis. Insentif ini adalah hak istimewa yang diberikan dengan serangkaian batasan dan kewajiban yang sangat ketat. Wajib Pajak harus memahami dengan jelas bahwa kelalaian, baik oleh diri sendiri maupun oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) atau pengembang yang menjual properti, dapat menyebabkan status PPN DTP hangus.
Jika salah satu dari persyaratan ini tidak terpenuhi, insentif tersebut batal. Konsekuensinya, Wajib Pajak yang semula merasa telah membeli rumah bebas PPN, pada akhirnya akan dikenakan PPN 12% secara normal sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Syarat pertama dan utama yang seringkali luput dari perhatian adalah bahwa properti yang dibeli memang harus memenuhi definisi dan kriteria yang ditetapkan dalam PMK 60/2025 (Pasal 2, 3, dan 4). Jika objeknya sendiri tidak masuk kriteria, maka PPN DTP langsung gugur dari awal.
Kriteria Pengecualian Insentif PPN DTP
1. Objek yang Diserahkan Bukan Merupakan Rumah Tapak atau Satuan Rumah Susun yang Memenuhi Ketentuan
Insentif PPN DTP hanya berlaku untuk jenis properti tertentu yang dibeli dari Pengembang (PKP) dan memenuhi batasan harga, yaitu:
- Rumah Baru: Transaksi yang memenuhi syarat harus berupa penyerahan rumah tapak atau satuan rumah susun pertama kali oleh PKP (pengembang). Pembelian properti second-hand atau dari individu tidak memenuhi syarat.
- Batasan Harga: Pemerintah menetapkan batas harga jual maksimal. Jika harga rumah melebihi batas yang ditentukan (misalnya, di atas Rp 5 Miliar, tergantung ketentuan terbaru), maka properti tersebut tidak berhak atas insentif, meskipun transaksi dilakukan dalam periode insentif.
- Kesiapan Fisik: Untuk mendapatkan insentif, rumah tersebut juga harus sudah siap serah terima. PMK mengatur batasan luas minimal dan maksimal rumah yang berhak mendapatkan fasilitas.
Sebelum menandatangani Akta Jual Beli (AJB) atau Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB), Wajib Pajak harus mengonfirmasi kepada pengembang dan memeriksa secara teliti bahwa rumah yang dibeli (harga, tipe, dan status penyerahan) benar-benar masuk dalam skema PPN DTP yang ditetapkan oleh pemerintah. Jangan berasumsi bahwa semua properti pengembang otomatis mendapatkan insentif.
2. Telah Dilakukan Pembayaran Uang Muka atau Cicilan Pertama Sebelum Tanggal Mulai Insentif
Kebijakan ini ditujukan untuk merangsang transaksi baru. Apabila Wajib Pajak telah melakukan pembayaran uang muka (DP) atau cicilan pertama sebelum tanggal efektif dimulainya program insentif (misalnya, sebelum 1 Juli 2025), maka pembelian rumah tersebut dianggap sebagai transaksi yang sudah berjalan dan tidak lagi memenuhi kriteria untuk mendapatkan fasilitas PPN DTP.
Tanggal pembayaran pertama menjadi cut-off yang krusial. WP yang telah mencicil sebelum tanggal mulai insentif akan dipandang sebagai pembeli reguler yang harus membayar PPN 12% secara normal.
3. Penyerahan Rumah Dilakukan Sebelum atau Setelah Periode Insentif
Periode insentif PPN DTP memiliki batas waktu yang tegas, misalnya berlaku dari 1 Juli 2025 hingga 31 Desember 2025. Wajib Pajak akan kehilangan haknya jika:
- Penyerahan Terlalu Cepat: Serah terima kunci (yang dibuktikan dengan Berita Acara Serah Terima/BAST) dilakukan sebelum tanggal 1 Juli 2025.
- Penyerahan Terlalu Lambat: Serah terima kunci dilakukan setelah tanggal 31 Desember 2025.
Ini menekankan pentingnya klausul Serah Terima dalam PPJB. Jika pengembang terlambat menyelesaikan pembangunan melebihi batas waktu insentif, Wajib Pajak berisiko kehilangan PPN DTP-nya dan harus membayar PPN penuh. WP perlu memiliki komitmen tertulis dari pengembang mengenai batas waktu BAST.
4. Memperoleh Lebih dari 1 Rumah Tapak atau 1 Satuan Rumah Susun oleh 1 Orang Pribadi
Ini adalah aturan “Satu WP, Satu Rumah” yang wajib dipatuhi. PPN DTP hanya dapat dimanfaatkan oleh satu orang pribadi untuk perolehan satu unit rumah tapak atau satu unit satuan rumah susun dalam periode insentif.
Jika seorang Wajib Pajak, baik secara sengaja maupun tidak, membeli dan mengklaim PPN DTP untuk dua unit rumah, maka:
- Seluruh transaksi tersebut berisiko dibatalkan status PPN DTP-nya.
- Pemerintah akan melacak kepemilikan ini melalui Nomor Induk Kependudukan (NIK) atau Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
Jika Rekan dan pasangan berencana membeli dua unit (misalnya satu untuk ditinggali, satu untuk disewakan), hanya satu unit yang boleh memanfaatkan fasilitas PPN DTP. WP yang melanggar ketentuan ini wajib menyetorkan kembali PPN yang seharusnya dibayar (PPN yang ditanggung pemerintah).
5. Rumah Tapak atau Satuan Rumah Susun Dipindahtangankan dalam Jangka Waktu 1 Tahun Sejak Penyerahan
Insentif PPN DTP bukan ditujukan untuk mendukung kegiatan spekulasi properti. Oleh karena itu, pemerintah menerapkan masa tunggu (holding period).
Apabila rumah yang dibeli dengan fasilitas PPN DTP tersebut dijual atau dialihkan kepemilikannya kepada pihak lain dalam jangka waktu 1 tahun sejak tanggal serah terima (BAST), maka status PPN DTP-nya akan dibatalkan.
Wajib Pajak yang melakukan pemindahtanganan di bawah 1 tahun diwajibkan untuk melunasi PPN yang seharusnya ditanggung pemerintah, ditambah sanksi sesuai ketentuan perpajakan. Aturan ini memastikan bahwa insentif dinikmati oleh end-user (penghuni) sejati, bukan para pemburu keuntungan jangka pendek.
6. PKP Tidak Membuat Faktur Pajak yang Benar, atau Tidak Menggunakan Faktur Pajak Sama Sekali
Faktur Pajak adalah bukti pungutan PPN yang sah. Dalam skema PPN DTP, Faktur Pajak harus dibuat dengan kode khusus yang menunjukkan bahwa PPN-nya ditanggung oleh pemerintah.
Wajib Pajak akan kehilangan insentif jika:
- PKP tidak menerbitkan Faktur Pajak sama sekali.
- PKP menerbitkan Faktur Pajak, tetapi tidak sesuai ketentuan (misalnya, salah kode DTP, salah tanggal, atau salah NPWP pembeli).
Selalu pastikan bahwa Rekan menerima salinan Faktur Pajak dari PKP yang mencantumkan keterangan bahwa PPN-nya ditanggung pemerintah. Faktur Pajak ini adalah dokumen legal yang melindungi status PPN DTP Rekan.
7. PKP Tidak Mendaftarkan Berita Acara Serah Terima (BAST)
Proses serah terima kunci properti wajib dibuktikan dengan Berita Acara Serah Terima (BAST) yang ditandatangani oleh PKP dan Wajib Pajak. Selanjutnya, PKP wajib mendaftarkan BAST ini ke dalam aplikasi sistem yang disediakan oleh kementerian terkait (Kementerian PUPR/BP Tapera).
Pendaftaran BAST ini harus dilakukan oleh PKP paling lambat pada akhir bulan berikutnya setelah tanggal serah terima. Jika PKP lalai dan tidak mendaftarkan BAST tepat waktu, pemerintah tidak memiliki bukti resmi dan valid atas penyerahan yang memanfaatkan insentif tersebut. Akibatnya, status PPN DTP atas unit rumah Rekan dianggap tidak sah.
8. PKP Tidak Melaporkan Laporan Realisasi PPN DTP
Kewajiban administratif terakhir PKP yang vital adalah pelaporan. Setiap PKP yang menyerahkan rumah dengan fasilitas PPN DTP wajib membuat dan melaporkan Laporan Realisasi PPN DTP kepada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) secara periodik.
Laporan realisasi ini berfungsi sebagai laporan pertanggungjawaban kepada negara atas dana PPN yang telah ditanggung pemerintah.
Apabila PKP terlambat atau bahkan tidak melaporkan realisasi PPN DTP atas unit rumah Rekan, maka secara administrasi, negara menganggap bahwa transaksi tersebut tidak pernah memenuhi persyaratan DTP. Akibatnya, PPN DTP atas unit tersebut dibatalkan.
Tiga kondisi terakhir ini menunjukkan bahwa hak Wajib Pajak atas PPN DTP sangat bergantung pada kepatuhan administrasi dari pihak Pengembang (PKP). Wajib Pajak disarankan untuk meminta bukti bahwa pengembang telah memenuhi seluruh kewajiban ini sebagai bagian dari proses serah terima dan pembayaran akhir.
Kesimpulan
Insentif PPN DTP untuk perumahan adalah fasilitas yang sangat bernilai dan patut dimanfaatkan. Namun, delapan kondisi pengecualian di atas adalah filter komprehensif yang dirancang untuk memastikan insentif tepat sasaran dan mencegah penyalahgunaan.
Bagi Wajib Pajak, kunci untuk menikmati fasilitas ini tanpa masalah di kemudian hari adalah kedisiplinan dan verifikasi menyeluruh:
- Verifikasi Objek: Pastikan harga dan tipe rumah berada dalam batasan PMK 60/2025.
- Verifikasi Waktu: Pastikan DP pertama dan serah terima (BAST) terjadi dalam periode insentif.
- Verifikasi Subjek: Pastikan Rekan belum pernah mengklaim PPN DTP untuk unit lain, dan berkomitmen untuk tidak menjual rumah tersebut dalam 1 tahun.
- Verifikasi Administrasi Pengembang: Tekan pengembang untuk memberikan bukti Faktur Pajak yang benar, bukti pendaftaran BAST, dan konfirmasi pelaporan realisasi.
Dengan memahami dan mengantisipasi kedelapan kondisi kritis ini, Wajib Pajak dapat melindungi diri dari risiko pembatalan insentif, sehingga dapat benar-benar merasakan manfaat besar dari kebijakan PPN Ditanggung Pemerintah ini. Jika keraguan muncul, Wajib Pajak disarankan untuk berkonsultasi dengan konsultan pajak sebelum menyelesaikan transaksi pembelian rumah.
