
Batas peredaran bruto atau omzet tidak kena pajak (PPN) sebagaimana diatur dalam peraturan perpajakan memiliki implikasi signifikan bagi kelangsungan usaha. Saat ini, batasan omzet yang tidak dikenai kewajiban PPN adalah sebesar Rp4,8 miliar dalam satu tahun buku. Jika WP badan atau orang pribadi yang menjalankan usaha mencapai/melampaui Rp4,8Milyar, statusnya secara otomatis berubah menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP). Kewajiban untuk mengajukan diri sebagai PKP menjadi imperatif. Tidak ajukan PKP dapat berujung pada serangkaian konsekuensi yang merugikan.
Kewajiban Menjadi PKP dan Dasar Hukumnya
Ketentuan mengenai kewajiban pengusaha untuk menjadi PKP diatur dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) dan peraturan pelaksanaannya. Secara garis besar, pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP) dengan omzet melebihi Rp4,8 miliar dalam setahun wajib memungut, menyetor, dan melaporkan PPN.
Pasal 4 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), secara jelas menyatakan bahwa penyerahan BKP dan JKP di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha merupakan objek PPN. Lebih lanjut, Pasal 4A ayat (1) UU PPN mengatur batasan pengusaha kecil yang tidak dikenai PPN, yang saat ini ditetapkan sebesar Rp4,8 miliar. Â
Dengan demikian, ketika omzet telah melampaui batas tersebut, pengusaha tidak lagi termasuk dalam kategori pengusaha kecil dan wajib dikukuhkan sebagai PKP. Pengukuhan PKP ini membawa konsekuensi kewajiban untuk memungut PPN sebesar 12% (tarif saat ini) dari harga jual BKP/JKP yang diserahkannya.
Konsekuensi Tidak Ajukan PKP Saat Omzet Melebihi Batas
Mengabaikan kewajiban dan tidak ajukan PKP setelah omzet melampaui Rp4,8 miliar dapat menimbulkan berbagai masalah, baik dari sisi administrasi perpajakan maupun potensi sanksi. Berikut adalah beberapa konsekuensi utama yang mungkin timbul:
- Dianggap Melakukan Penyerahan BKP/JKP Tanpa Memungut PPN: Ketika omzet telah melebihi batasan, setiap penyerahan BKP/JKP yang dilakukan seharusnya dikenakan PPN. Jika pengusaha tidak berstatus PKP, ia tidak dapat menerbitkan faktur pajak dan secara otomatis dianggap tidak memungut PPN. Padahal, secara substansial, kewajiban pemungutan PPN telah melekat karena omzet yang melampaui batas.
- Potensi Sanksi Administrasi: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) memiliki kewenangan untuk melakukan pemeriksaan dan menagih pajak yang seharusnya dipungut. Jika ditemukan bahwa pengusaha dengan omzet di atas Rp4,8 miliar tidak mengajukan PKP, DJP dapat menerbitkan surat ketetapan pajak (SKP) kurang bayar (SKPKB) beserta sanksi administrasi berupa bunga dan/atau denda.
- Bunga: Sesuai dengan ketentuan Pasal 13 ayat (2) dan Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), jika terdapat kekurangan pembayaran pajak akibat tidak dipungutnya PPN, akan dikenakan bunga sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, yang dihitung sejak saat terutangnya pajak sampai dengan tanggal pembayaran.
- Denda: Selain bunga, Pasal 14 ayat (4) UU KUP juga mengatur mengenai sanksi denda dalam hal tidak menyampaikan surat pemberitahuan masa PPN (SPT Masa PPN) meskipun terdapat kewajiban untuk memungut PPN. Meskipun dalam kasus ini SPT Masa PPN mungkin belum dilaporkan karena belum menjadi PKP, DJP dapat mengenakan sanksi lain berdasarkan temuan pemeriksaan.
- Ketidakmampuan Mengkreditkan Pajak Masukan: Bagi pihak pembeli BKP/JKP dari pengusaha yang seharusnya sudah menjadi PKP namun belum dikukuhkan, mereka tidak dapat mengkreditkan Pajak Masukan atas transaksi tersebut. Faktur pajak yang diterbitkan oleh non-PKP (padahal seharusnya sudah PKP) dianggap tidak sah untuk dikreditkan. Hal ini dapat merugikan relasi bisnis dan membuat pembeli enggan bertransaksi dengan pengusaha tersebut di kemudian hari.
- Potensi Pemeriksaan Pajak yang Lebih Mendalam.
- Reputasi Bisnis yang Terganggu: Tidak mematuhi kewajiban perpajakan dapat merusak reputasi bisnis di mata pelanggan, pemasok, dan institusi keuangan. Kredibilitas perusahaan dapat dipertanyakan jika terindikasi tidak taat pajak.
Tidak Ajukan PKP? Ini Langkah yang Seharusnya Dilakukan!
Ketika omzet usaha telah mencapai atau melampaui Rp4,8 miliar dalam satu tahun buku, langkah yang wajib dilakukan oleh pengusaha adalah segera mengajukan permohonan pengukuhan sebagai PKP ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat Wajib Pajak terdaftar. Proses pengajuan PKP saat ini relatif mudah dan dapat dilakukan secara daring melalui CoreTax.
Setelah dikukuhkan sebagai PKP, pengusaha memiliki kewajiban untuk:
- Memungut PPN sebesar tarif yang berlaku (saat ini 12%) atas setiap penyerahan BKP/JKP.
- Menerbitkan Faktur Pajak sebagai bukti pemungutan PPN.
- Menyetorkan PPN yang telah dipungut ke kas negara sesuai dengan ketentuan.
- Melaporkan SPT Masa PPN secara periodik.
- Sebaliknya, dengan menjadi PKP, pengusaha juga memiliki hak untuk mengkreditkan Pajak Masukan (PPN yang dibayar atas pembelian BKP/JKP yang terkait dengan kegiatan usaha yang menghasilkan penyerahan yang terutang PPN). Mekanisme pengkreditan Pajak Masukan ini dapat mengurangi beban PPN yang harus disetor.
Kesimpulan
Melampaui batas omzet Rp4,8 miliar membawa konsekuensi perubahan status menjadi PKP. Mengabaikan kewajiban ini bukan hanya melanggar peraturan perpajakan, tetapi juga dapat menimbulkan kerugian finansial melalui sanksi administrasi, ketidakmampuan pihak lain untuk mengkreditkan Pajak Masukan, dan potensi pemeriksaan pajak yang lebih mendalam.
Oleh karena itu, penting bagi setiap pengusaha untuk memantau perkembangan omzet usahanya secara berkala. Ketika ambang batas PKP terlampaui, langkah proaktif untuk mengajukan pengukuhan sebagai PKP adalah tindakan yang bijaksana dan sesuai dengan Good Corporate Governance (GCG) serta kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan menjadi PKP secara sukarela atau karena kewajiban, pengusaha dapat menjalankan usahanya dengan lebih tenang dan terhindar dari potensi masalah perpajakan di kemudian hari. Kepatuhan terhadap peraturan perpajakan adalah fondasi yang kuat bagi keberlangsungan dan pertumbuhan bisnis yang sehat.