Pencairan JHT, Bagaimana PPh Pasal 21-nya?

Jaminan Hari Tua (JHT) adalah program perlindungan sosial yang diselenggarakan oleh BPJS Ketenagakerjaan untuk menjamin peserta menerima uang tunai saat memasuki usia pensiun, mengalami cacat total tetap, atau meninggal dunia. Dalam praktiknya, pencairan JHT seringkali menjadi salah satu sumber dana penting bagi pekerja yang telah berhenti bekerja atau memasuki masa pensiun. Namun, di balik kegembiraan menerima dana JHT, muncul pertanyaan krusial: bagaimana implikasi pajaknya, khususnya Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21?

Sesuai ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2015, manfaat JHT dapat dibayarkan apabila peserta berusia 56 tahun, meninggal dunia, atau mengalami cacat total tetap. Manfaat tersebut dibayar secara sekaligus. Tak hanya itu, peserta yang telah memiliki masa kepesertaan paling singkat 10 tahun dapat melakukan pengambilan manfaat JHT sebesar 10-30% dari jumlah JHT untuk keperluan lain, sesuai persiapan memasuki masa pensiun.

JHT dalam Kacamata Perpajakan: Objek PPh atau Bukan?

Sebelum membahas lebih jauh mengenai PPh Pasal 21, penting untuk memahami apakah JHT itu sendiri merupakan objek PPh. Berdasarkan ketentuan perpajakan di Indonesia, pada umumnya, segala bentuk penghasilan yang diterima oleh wajib pajak, baik itu dari pekerjaan, usaha, modal, maupun penghasilan lain-lain, adalah objek pajak.

Nah, bagaimana dengan JHT? Dana JHT sebenarnya adalah akumulasi iuran yang telah dibayarkan oleh pekerja dan/atau pemberi kerja selama masa kepesertaan, ditambah dengan hasil pengembangan. Ketika dana ini dicairkan, ia merupakan “penghasilan” bagi penerimanya. Oleh karena itu, secara umum, pencairan JHT termasuk dalam kategori penghasilan yang menjadi objek Pajak Penghasilan.

Penting untuk dicatat bahwa ada beberapa pengecualian atau perlakuan khusus terhadap penghasilan tertentu, tetapi untuk JHT, secara prinsip, ia dikenakan pajak.

Memahami PPh Pasal 21 atas Pencairan JHT

PPh Pasal 21 adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apa pun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi subjek pajak dalam negeri. Dalam konteks pencairan JHT, meskipun bukan gaji reguler, dana ini tetap dianggap sebagai “pembayaran lain” yang diterima oleh orang pribadi sehubungan dengan keikutsertaannya dalam program JHT.

Siapa Pemotong PPh Pasal 21-nya?

Pihak yang wajib melakukan pemotongan PPh Pasal 21 atas pencairan JHT adalah BPJS Ketenagakerjaan. Sebagai badan penyelenggara program JHT, BPJS Ketenagakerjaan memiliki kewajiban untuk memotong PPh Pasal 21 sebelum dana JHT diserahkan kepada peserta. Ini sejalan dengan prinsip withholding tax, di mana pihak yang membayarkan penghasilan memiliki kewajiban untuk memotong pajak terlebih dahulu.

Tarif PPh Pasal 21 atas Pencairan JHT

Ketentuan mengenai tarif PPh Pasal 21 atas pencairan JHT diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) terkait. Berdasarkan PMK Nomor 16/PMK.03/2010 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan atas Penghasilan Berupa Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua yang Dibayarkan Sekaligus, tarif PPh Pasal 21 atas pencairan JHT yang dibayarkan sekaligus adalah sebagai berikut:

  1. 5% (lima persen) dari penghasilan bruto di atas Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
  2. 0% (nol persen) atas penghasilan bruto sampai dengan Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

Contoh Perhitungan Sederhana:

Mari kita ambil contoh untuk lebih memahami perhitungan PPh Pasal 21 ini:

  • Kasus 1: Pencairan JHT Rp40.000.000,00 Karena jumlah pencairan di bawah Rp50.000.000,00, maka PPh Pasal 21 yang dipotong adalah Rp0 (nol rupiah). Peserta akan menerima JHT secara penuh.
  • Kasus 2: Pencairan JHT Rp75.000.000,00
    1. Penghasilan bruto yang dikenakan PPh: Rp75.000.000,00 – Rp50.000.000,00 = Rp25.000.000,00
    2. PPh Pasal 21 yang dipotong: 5% x Rp25.000.000,00 = Rp1.250.000,00
    3. Jumlah JHT yang diterima bersih oleh peserta: Rp75.000.000,00 – Rp1.250.000,00 = Rp73.750.000,00

Pentingnya Bukti Potong PPh Pasal 21

Setelah BPJS Ketenagakerjaan melakukan pemotongan PPh Pasal 21, mereka wajib menerbitkan Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 (Formulir 1721-A1 atau yang relevan) kepada peserta yang JHT-nya dicairkan. Bukti potong ini sangat penting bagi peserta karena:

  1. Sebagai bukti pembayaran pajak: Ini menunjukkan bahwa pajak atas penghasilan JHT Anda telah dipotong dan disetorkan oleh BPJS Ketenagakerjaan.
  2. Untuk pelaporan SPT Tahunan: Bukti potong ini harus dilampirkan atau datanya dimasukkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh Orang Pribadi Anda. Dengan adanya bukti potong, penghasilan dari JHT Anda tidak akan dikenakan pajak lagi di kemudian hari, karena pajak tersebut bersifat final.

JHT dan Sifatnya yang Final

PPh Pasal 21 yang dipotong atas pencairan JHT yang dibayarkan sekaligus ini bersifat final. Artinya, setelah pajak dipotong oleh BPJS Ketenagakerjaan, penghasilan dari pencairan JHT tersebut tidak akan dihitung lagi dalam perhitungan PPh Tahunan Rekan. Rekan tidak perlu lagi menggabungkan penghasilan ini dengan penghasilan lainnya untuk tujuan perhitungan PPh Tahunan. Cukup melaporkannya sesuai dengan informasi di bukti potong.

Apa Perbedaannya dengan Manfaat Pensiun yang Dibayarkan Bulanan?

Perlu dibedakan antara JHT yang dibayarkan sekaligus dengan manfaat pensiun yang diterima secara bulanan. Jika seseorang menerima manfaat pensiun secara bulanan, perlakuan PPh Pasal 21-nya akan berbeda. Manfaat pensiun bulanan akan diperhitungkan sebagai penghasilan rutin dan dikenakan PPh Pasal 21 dengan tarif progresif sesuai dengan lapisan penghasilan kena pajak, setelah dikurangi biaya jabatan dan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Namun, untuk JHT yang dicairkan sekaligus, seperti yang dijelaskan di atas, dikenakan PPh Pasal 21 bersifat final dengan tarif khusus.

Tips Penting untuk Peserta JHT:

  1. Pahami Aturan: Luangkan waktu untuk memahami aturan perpajakan terkait JHT.
  2. Minta Bukti Potong: Pastikan Rekan menerima bukti potong PPh Pasal 21 dari BPJS Ketenagakerjaan setelah pencairan JHT. Simpan bukti potong tersebut dengan baik.
  3. Laporkan dalam SPT Tahunan: Jangan lupa untuk melaporkan penghasilan dari JHT (sesuai bukti potong) dalam SPT Tahunan PPh Orang Pribadi Rekan. Meskipun bersifat final, pelaporan tetap wajib.
  4. Konsultasi Jika Ragu: Jika Rekan memiliki kasus yang lebih kompleks atau ragu tentang perhitungan pajak Rekan, jangan ragu untuk berkonsultasi dengan konsultan pajak profesional atau menghubungi kring pajak DJP.

Kesimpulan

Pencairan Jaminan Hari Tua (JHT) merupakan hak bagi setiap pekerja yang telah memenuhi syarat. Namun, di balik hak tersebut, terdapat kewajiban perpajakan yang perlu dipahami. PPh Pasal 21 atas pencairan JHT yang dibayarkan sekaligus dikenakan dengan tarif progresif khusus yang bersifat final. BPJS Ketenagakerjaan sebagai pihak pembayar wajib memotong pajak ini dan menerbitkan bukti potong kepada peserta. Dengan memahami ketentuan ini, diharapkan peserta JHT dapat menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya dengan benar, sehingga proses pencairan JHT berjalan lancar dan sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top