THR adalah singkatan dari Tunjangan Hari Raya. THR adalah bentuk kompensasi atau tunjangan yang biasanya diberikan oleh perusahaan kepada karyawan menjelang hari raya, seperti Idul Fitri bagi umat Islam atau Natal bagi umat Kristen. THR merupakan salah satu bentuk penghargaan dari perusahaan kepada karyawan sebagai bentuk pengakuan terhadap kontribusi mereka selama satu tahun kerja serta sebagai dukungan bagi karyawan dalam merayakan hari raya bersama keluarga. Besarannya dapat bervariasi tergantung pada kebijakan perusahaan dan juga hukum yang berlaku di suatu negara. Penghitungan THR umumnya terkait dengan hukum ketenagakerjaan dan peraturan yang diberlakukan oleh pemerintah di masing-masing negara. Di Indonesia, THR diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Lalu bagaimana dengan penghitungan pajak terkait dengan THR setelah ada aturan terbaru TER?
THR dan Bonus digabungkan dengan Penghasilan Bruto
Merujuk pada PMK 168/2023, penghitungan PPh Pasal 21 pegawai tetap dilakukan dengan dua cara, yaitu:
- Penghitungan masa pajak dari bulan Januari–November dihitung menggunakan tarif efektif bulanan (TER Bulanan) dikalikan penghasilan bruto; lalu
- Penghitungan masa pajak bulan Desember menggunakan tarif progresif sesuai Pasal 17 UU PPh dengan penghasilan kena pajak.
Hal ini berdampak pada penghitungan PPh Pasal 21 atas bonus atau THR. Jika pegawai tetap menerima THR atau Bonus dalam masa pajak Januari-November, THR atau bonus tersebut harus digabungkan penghitungannya ke dalam penghasilan bruto kemudian dikalikan dengan TER Bulanan sesuai status PTKP dari pegawai tetap yang menerima penghasilan tersebut.
Contoh penghitungan PPh 21 bagi pegawai yang menerima THR
Deni adalah seorang pegawai dengan status belum kawin dan tidak memiliki tanggungan (TK/0) yang menerima penghasilan rutin berupa gaji dari Perusahaan sebesar Rp 3.000.000 tiap bulannya. Pada bulan April 2024, Deni menerima THR dari Perusahaan sebesar 1 kali gaji, yaitu Rp3.000.000. Bagaimana cara menghitung PPh 21 dengan tarif TER?
Berdasarkan ilustrasi tersebut, Deni masuk ke dalam kategori TER A. Penghitungan PPh 21 atas penghasilan yang diterima Deni adalah sebagai berikut:
Bulan | Penghasilan Bruto | TER A | PPh Pasal 21 |
Januari | Rp3.000.000 | 0,00% | Rp 0 |
Februari | Rp3.000.000 | 0,00% | Rp 0 |
Maret | Rp3.000.000 | 0,00% | Rp 0 |
Lalu karena Deni menerima THR pada bulan April, penghasilan brutonya berubah sehingga tarif TER nya pun ikut berubah.
Bulan | Penghasilan Bruto | TER A | PPh Pasal 21 |
Januari | Rp3.000.000 | 0,00% | Rp 0 |
Februari | Rp3.000.000 | 0,00% | Rp 0 |
Maret | Rp3.000.000 | 0,00% | Rp 0 |
April | Rp6.000.000 | 0,75% | Rp45.000 |
Tarif TER akan berubah lagi di bulan selanjutnya, tergantung penghasilan apa saja yang diterima Deni selama satu tahun pajak. Pada masa pajak terakhir yaitu bulan Desember, penghitungannya berganti menggunakan tarif pajak progresif sesuai Pasal 17 UU PPh dengan penghasilan kena pajak yang sudah disetahunkan. Berikut ini adalah ilustrasi penghitungan PPh 21 dengan asumsi Deni membayar iuran pensiun ke dana Pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan sebesar Rp100.000.
Dari ilustrasi diatas, dapat disimpulkan bahwa jumlah PPh 21 terhutang selama satu tahun adalah Rp 0. Artinya, terjadi lebih bayar sebesar Rp45.000 dan pemberi kerja mempunyai kewajiban untuk mengembalikan sejumlah lebih bayar tersebut kepada Deni.
Dan dapat simpulkan pula bahwa peraturan terbaru dengan TER ini tidak akan menambah jumlah pajak pegawai karena yang berubah hanyalah cara hitung dan nominal setor per bulannya saja. Seluruh kelebihan pemotongan pajak akan dikembalikan oleh pemberi kerja kepada pegawai, tergantung dengan kebijakan masing-masing pemberi kerja apakah akan dikompensasikan untuk tahun pajak berikutnya atau dikembalikan langsung ke pegawai.
-o-o-