
Dalam dunia bisnis yang semakin terhubung secara global, transaksi dengan mata uang asing menjadi hal yang lumrah. Perusahaan-perusahaan di Indonesia seringkali melakukan pembelian, penjualan, atau meminjam dana dalam mata uang selain Rupiah. Nah, ketika nilai tukar mata uang asing tersebut berubah, perusahaan bisa mengalami yang namanya selisih kurs. Selisih kurs ini bisa berupa keuntungan (laba) atau kerugian (rugi). Pertanyaannya kemudian muncul, terutama saat mendekati waktu pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan (PPh) Badan: apakah rugi selisih kurs ini boleh dibiayakan, alias mengurangi beban pajak perusahaan?
Memahami Selisih Kurs dalam Konteks Pajak
Sebelum jauh membahas perlakuan pajaknya, mari kita pahami dulu apa itu rugi selisih kurs. Rugi selisih kurs terjadi ketika nilai mata uang asing yang dimiliki atau yang digunakan dalam transaksi mengalami penurunan dibandingkan saat transaksi itu pertama kali dicatat. Misalnya, sebuah perusahaan berutang dalam Dolar Amerika Serikat (USD) senilai $10.000 ketika kurs Rp15.000 per USD. Jadi, nilai utangnya dalam Rupiah adalah Rp150.000.000. Namun, saat jatuh tempo pembayaran utang, kurs USD naik menjadi Rp16.000 per USD. Untuk melunasi utang $10.000, perusahaan kini harus mengeluarkan Rp160.000.000. Selisih Rp10.000.000 inilah yang disebut rugi selisih kurs.
Nah, dalam akuntansi, selisih kurs ini umumnya diakui sebagai laba atau rugi pada laporan laba rugi. Namun, perlakuan akuntansi tidak selalu sama persis dengan perlakuan pajak. Aturan pajak memiliki kekhususan tersendiri yang harus dipatuhi oleh wajib pajak badan.
Perlakuan Rugi Selisih Kurs Menurut Aturan Pajak
Kabar baiknya bagi para wajib pajak badan adalah rugi selisih kurs pada prinsipnya boleh dibiayakan dalam perhitungan PPh Badan. Ini berarti, rugi yang timbul akibat fluktuasi nilai tukar mata uang asing dapat mengurangi penghasilan bruto perusahaan, yang pada akhirnya akan mengurangi jumlah pajak yang harus dibayar. Ketika belum diselesaikan dalam periode yang sama (belum terealisasi), kerugian selisih kurs tetap dapat diakui di setiap periode sampai dengan tanggal penyelesaian. Dengan demikian, kerugian selisih kurs dapat diakui sebagai pengurang penghasilan bruto, baik yang telah terealisasi maupun belum terealisasi, dan dilakukan secara konsisten.
Meskipun begitu, terdapat perlakuan yang berbeda atas rugi selisih kurs dalam kondisi tertentu. Pada Pasal 9 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 disebutkan bahwa:
“Keuntungan atau kerugian selisih kurs mata uang asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berkaitan langsung dengan usaha Wajib Pajak yang:
a. dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final; atau
b. tidak termasuk objek pajak;
tidak diakui sebagai penghasilan atau biaya.”
Dari ketentuan tersebut, dapat dipahami bahwa apabila kerugian selisih kurs berkaitan dengan usaha Wajib Pajak yang dikenakan PPh Final, atau bukan merupakan objek pajak, maka biaya tersebut tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.
Pencatatan dan Dokumentasi yang Kuat
Agar rugi selisih kurs dapat diterima sebagai biaya oleh DJP, pencatatan dan dokumentasi yang kuat menjadi kunci utama. Perusahaan harus memiliki bukti yang memadai atas transaksi dalam mata uang asing yang menimbulkan rugi selisih kurs tersebut. Ini termasuk:
- Faktur atau kontrak transaksi yang jelas menunjukkan nilai transaksi dalam mata uang asing.
- Dokumen perbankan: Bukti transfer atau pembayaran yang menunjukkan kurs yang digunakan.
- Jurnal akuntansi: Pencatatan yang rapi mengenai pengakuan selisih kurs.
- Kebijakan akuntansi perusahaan: Dokumen yang menjelaskan bagaimana perusahaan memperlakukan selisih kurs dalam pembukuannya.
Tanpa dokumentasi yang memadai, DJP mungkin akan menganggap rugi selisih kurs tersebut tidak dapat dibiayakan, dan perusahaan bisa menghadapi koreksi pajak.
Kesimpulan
Jadi, untuk menjawab pertanyaan utama, rugi selisih kurs pada dasarnya boleh dibiayakan dalam SPT Tahunan PPh Badan, asalkan perusahaan mematuhi prinsip akuntansi berbasis akrual, konsisten dalam mengakui laba dan rugi selisih kurs, dan memiliki dokumentasi transaksi yang kuat. Penting bagi perusahaan untuk selalu memastikan bahwa pencatatan akuntansi terkait transaksi mata uang asing dilakukan dengan cermat dan sesuai dengan standar yang berlaku, sehingga tidak menimbulkan masalah di kemudian hari saat pemeriksaan pajak. Dengan pemahaman yang baik dan kepatuhan yang ketat, perusahaan dapat mengelola dampak fluktuasi kurs terhadap beban pajaknya secara optimal.
